Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aset Sejarah Alam Dunia dan Rumah Satwa Sulawesi

Kompas.com - 30/04/2008, 01:51 WIB

Kawasan konservasi di Gunung Tangkoko, Kota Bitung, Sulawesi Utara, merupakan aset sejarah alam yang sangat penting. Tempat ini bahkan dijuluki rumah bagi satwa-satwa Sulawesi yang dilindungi, dan merupakan salah satu kawasan terakhir yang menawarkan suaka bagi penyusun alam hayati Sulawesi.

Tak heran kalau saat ini nama Tangkoko sangat populer di kalangan ilmuwan. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah ilmuwan dalam negeri dan luar negeri telah memasuki dan mendaki Gunung Tangkoko demi kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan penelitian.

Bukan hanya ilmuwan, beberapa tahun terakhir kawasan konservasi yang terletak sekitar 70 kilometer dari Kota Manado itu menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang senang menjelajah alam.

Dari survei yang dilakukan peneliti satwa Sulawesi, Dr Saroyo Sumarto, selama satu tahun (periode Oktober 2006- September 2007) sebanyak 2.419 wisatawan asing dan 5.030 wisatawan domestik mengunjungi kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih—yang lokasinya di antara Kelurahan Batuputih Bawah, Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung dan Cagar Alam Tangkoko-Batuangus.

”Sebagian besar wisatawan asing melaksanakan wisata alam. Sedangkan wisatawan domestik hampir 100 persen hanya mengunjungi pantai untuk berenang, ibadah, dan kamping. Sedikit sekali yang berwisata alam,” ujarnya.

Menurut Saroyo, puncak kunjungan wisatawan asing pada Juli-Oktober. Sebagian besar berkunjung siang hingga sore hari. Saroyo mencatat, 54 persen wisatawan asing yang berkunjung ke TWA Batuputih karena ingin melihat monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) dan tangkasi (Tarsius spectrum).

”Kalau ditanya berapa persis jumlah peneliti, saya tidak tahu. Terutama peneliti yang datang sebelum saya. Yang jelas peneliti dari Indonesia yang datang ke sini banyak,” ujar Saroyo yang juga pengajar Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Banyaknya turis ke TWA Batuputih membuat nama Tangkoko lebih dikenal sebagai tempat kegiatan wisata. Padahal, kawasan TWA Batuputih hanyalah salah satu dari empat kawasan konservasi di Tangkoko.

Selain TWA Batuputih yang luasnya 615 hektar, di Tangkoko juga terdapat Cagar Alam Tangkoko-Batuangus seluas 3.196 hektar (mencakup kawasan Gunung Tangkoko-Batuangus dan sekitarnya), Cagar Alam (CA) Duasudara seluas 4.299 hektar (mencakup Gunung Duasudara dan sekitarnya), dan TWA Batuangus seluas 635 hektar (terletak di antara CA Tangkoko dan Desa Pinangunian).

Secara hukum, Cagar Alam Tangkoko ditetapkan berdasarkan GB NO 6 Stbl 1919 tanggal 12 Februari 1919, dan CA Duasudara ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 700/Kpts/ Um/7/78 tanggal 13 November 1978. Adapun TWA Batuputih dan TWA Batuangus ditetapkan melalui SK Mentan yang dikeluarkan tanggal 24 Desember 1981.

Hingga kini, keempat kawasan konservasi dengan luas total 8.718 hektar ini berada di bawah pengelolaan Departemen Kehutanan, melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut.

Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung alami. Di dalam cagar alam hanya dapat dilakukan kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan penunjang budidaya.

Adapun TWA adalah bentuk pengelolaan kawasan konservasi dengan zonasi yang memungkinkan pemanfaatan kawasan untuk tujuan terbatas, termasuk pariwisata.

”Kunjungan wisatawan hanya diizinkan di TWA Batuputih karena kegiatan wisata di cagar alam tidak diizinkan. Tetapi karena Tangkoko sudah populer, nama Tangkoko dijual untuk daya tarik wisatawan. Walaupun sebenarnya yang dikunjungi wisatawan adalah TWA Batuputih,” ujar Saroyo.

Sulawesi Program Coordinator Wildlife Conservation Society–Indonesia Program, Dr Johny Tasirin, menyatakan, Tangkoko memiliki nilai sejarah alam yang penting karena di kawasan konservasi ini terdapat 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 di antaranya endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), dan 15 jenis reptil dan amfibi.

Di Tangkoko juga ditemukan burung manguni (Otus manadensis) yang menjadi simbol daerah Minahasa, bersama tujuh jenis burung manguni lainnya. ”Burung malam ini harus berbagi habitat dengan belasan perambah malam lainnya, termasuk tarsius, tujuh jenis kelelawar, dan musang Sulawesi,” ujar Tasirin. Tangkoko, tambahnya, adalah rumah dari monyet hitam dan tarsius. Kedua satwa ini adalah jenis primata asli Sulawesi Utara dengan nilai evolusi yang tinggi.

Benteng terakhir

Menurut Saroyo, Tangkoko-Batuangus merupakan benteng terakhir sebagai tempat hidup berbagai satwa Sulawesi yang paling memesona para ahli alam dari luar negeri dan dalam negeri.

Selain monyet hitam sulawesi dan tangkasi, satwa khas Sulawesi lain yang mudah dijumpai di kawasan ini adalah kuskus beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), julang sulawesi atau burung rangkong (Rhyticeros cassidix), dan kangkareng (Penelopides exarrhatus).

Monyet hitam sulawesi dan tangkasi adalah mamalia Ordo Primates yang merupakan satwa khas zoogeografi atau geografi satwa Asia (Oriental). Adapun kuskus beruang dan kuskus kerdil adalah mamalia Ordo Marsupialia atau mamalia berkantong. Ordo ini merupakan kelompok satwa khas zoogeografi Australia.

”Di CA Tangkoko-Batuangus dapat dijumpai satwa dari kedua zoogeografi tersebut karena Sulawesi terletak di Kawasan Wallacea, suatu kawasan yang merupakan percampuran atau zona transisi dua wilayah Zoogeografi, Asia dan Australia,” ujar Saroyo.

Kawasan Wallacea dibatasi oleh dua garis imajiner, yaitu Garis Wallace di sebelah barat dan Garis Lydekker di sebelah timur. Sebagai batas imbangan dibuat garis imajiner ketiga, yaitu Garis Weber. Garis Wallace diajukan oleh Alfred Russel Wallace, seorang ahli alam yang melakukan eksplorasi pulau-pulau antara tahun 1854 dan 1862. Garis Wallace terletak di antara Bali dan Lombok berjalan ke atas melalui Selat Makassar di antara Kalimantan dan Sulawesi.

Yang termasuk dalam kawasan Wallacea meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di dalam Kawasan Wallacea ini tercampur flora dan fauna berciri kedua zoogeografi dengan sejumlah besar spesies endemik, yaitu spesies yang hanya ditemukan pada wilayah geografi tertentu dan tidak ditemukan di tempat lain di dunia.

Tangkoko adalah salah satu pusat keanekaragaman hayati paling penting di dunia sehingga di dalamnya dapat diamati dan dipelajari berbagai kekayaan hayati. ”Bagi seorang penjelajah, walaupun bukan ilmuwan, mengamati dan mempelajari flora dan fauna di Tangkoko merupakan pengalaman yang luar biasa dan akan dikenang sepanjang masa,” ujar Saroyo yang menulis Buku Panduan Mendaki Tangkoko.

Selain merupakan cagar alam yang mewakili keanekaragaman hayati Sulawesi, di Tangkoko juga terdapat tiga tipe ekosistem, yang dimulai dari ekosistem pantai sampai puncak Gunung Tangkoko yang memiliki ketinggian 1.109 meter dari permukaan laut.

Bagi yang akan menjelajah Tangkoko tentu akan menjumpai berbagai kekayaan hayati di kawasan konservasi ini. Dari stasiun penelitian I-III (Pos I-III) dapat dijumpai ekosistem hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi. Dari Pos I ke Pos III akan terlihat ekosistem padang rumput, yang didominasi rumput gelagah. Di padang rumput ini juga hidup berbagai satwa terutama burung weris (Ralidae) dan gemak (Turnicidae).

Sebelum mencapai Pos II akan dijumpai hutan tropis sekunder, di mana terdapat pohon dan beberapa tanaman pionir seperti sirih hutan, kayu bunga, dan binunga. Di depan Pos II dan Pos II terdapat pantai dan berbagai jenis tumbuhan.

Untuk memasuki kawasan ini harus mengantongi surat izin masuk kawasan konservasi (Simaksi) dari BKSDA Sulut. Adapun untuk menuju kawasan tersebut bisa menggunakan kendaraan pribadi, atau menggunakan bus dari Terminal Paal Manado menuju Terminal Tangkoko, Bitung. Dari terminal bisa naik angkutan umum jurusan pusat kota Bitung dan turun di perempatan Girian. Untuk menuju ke Kampung Batuputih, selain kendaraan bak terbuka bisa juga dengan ojek. Di kampung ini ada Pos I Resor BKSDA. Untuk masuk kawasan TWA Batuputih harus melapor dan membayar tiket masuk Rp 15.000 (wisatawan asing) dan Rp 2.000 (wisatawan lokal).

BKSDA

Mengenai pengelolaan kawasan konservasi Tangkoko, Kepala BKSDA Sulut Ir Dominggus menegaskan, Tangkoko adalah kawasan konservasi, kalaupun ada wisatawan yang berkunjung ke sana, hanya sampai di TWA Batuputih, jarang ada wisatawan yang sampai ke CA Tangkoko-Batuangus.

Mengenai perburuan dan perusakan habitat, Dominggus yang menjadi Kepala BKSDA Sulut sejak tahun 2004 membenarkan, pada waktu lalu banyak warga yang memasuki kawasan cagar alam untuk menangkap tikus dan kelelawar.

”Tetapi akhir-akhir ini sudah berkurang karena kesadaran masyarakat semakin meningkat. Bahkan terhadap tarsius belum pernah kami menemukan ada yang menangkap, mungkin juga karena masyarakat menyadari bahwa banyak orang datang ke Tangkoko untuk melihat tarsius,” ujarnya.

Dominggus mengakui, petugas lapangan BKSDA Sulut hingga kini masih menemukan perangkap-perangkap untuk menangkap satwa. Namun, yang masih sering ditemukan adalah usaha pencurian kayu yang dilakukan masyarakat di wilayah cagar alam. ”Memang ada juga yang nakal,” ujar Dominggus. (SONYA HELLEN SINOMBOR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com