Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Issei" Tanaka, dari Fuji ke Merapi

Kompas.com - 16/04/2008, 01:46 WIB

Ahmad Arif

Dalam selimut halimun yang mulai turun dari lereng Gunung Merapi suatu sore, Abdul Rosid, 101 tahun, menyambut kami dengan bahasa Jepang. Dia paksa tubuh rentanya membungkuk dalam, menghormat kepada tamu khas orang Jepang.

Hari-hari ini Bapak memang sering bicara dalam bahasa Jepang. Mungkin dia kangen dengan masa kecilnya,” kata Masako (55), anak keempat Abdul Rosid, yang menemaninya tinggal di Kaliurang, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Abdul Rosid, yang nama aslinya Yukitoshi Tanaka, memang berasal dari Jepang. Dia adalah satu dari enam issei atau generasi pertama Jepang di Indonesia, yang masih hidup hingga kini.

Perjalanan nasib manusia memang tak pernah bisa disangka-sangka. Tanaka tak pernah mengira bisa hidup selama ini saat memutuskan tinggal di Indonesia setelah Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II. Hidupnya pernah teramat sulit dan beberapa kali nyaris dijemput maut.

Tanaka lahir pada 20 Oktober 1907 di kabupaten Tottori, Jepang. Bulan Juni 1942 dia meninggalkan Jepang menuju Indonesia untuk menjadi tenaga kontrak di Nanpo Kuzutetsu Tosei Kumiai (Koperasi Kontrol Besi Tua Kawasan Selatan). Tugasnya, mengumpulkan besi tua sebagai bahan membuat senjata dalam Perang Dunia II.

Dengan seragam tentara, walaupun tanpa tanda pangkat—karena statusnya sebagai tenaga sipil—Tanaka naik kapal dari Pelabuhan Ujina, Hiroshima, dan tiba di Tanjung Priok, Batavia. Sejak saat itu hingga kini, ketika usianya mencapai seabad lebih, Tanaka menetap di Pulau Jawa.

Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Tanaka ditempatkan di Bandung. Di kota itu dia kecantol mojang priangan, Eulis. Mereka menikah tahun 1943.

Pusaran Perang Pasifik

Tanaka hanyalah ”sekrup kecil” dalam pusaran Perang Pasifik. Awal tahun 1940-an, jutaan pemuda Jepang berbondong ke luar negeri untuk mengambil alih negara-negara di Asia selatan yang saat itu dicengkeram penjajah dari dunia Barat.

Orang-orang muda Jepang itu terbakar semangat penyatuan Asia Pasifik yang didengungkan kekaisaran. ”Saya harus mendukung tanah air,” kenang Tanaka.

Namun, sebagian pemuda Jepang diam-diam memendam kekecewaan kepada kekaisaran ketika menemui kenyataan bahwa kehadiran mereka di Indonesia adalah sebagai penjajah baru. Orang-orang muda ini segera bergabung dengan para pemuda Indonesia yang tengah mempersiapkan kemerdekaan.

Bagi para serdadu yang diam-diam telah bersimpati kepada rakyat Indonesia itu, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik adalah pintu gerbang untuk bergabung dengan pergerakan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda yang membonceng tentara Sekutu.

Dalam catatan Yayasan Warga Persahabatan, yayasan yang dibentuk mantan serdadu Jepang yang tinggal di Indonesia, jumlah tentara Jepang yang tidak kembali ke negara asal setelah tahun 1945 mencapai 2.000 orang. Sebanyak 1.500 orang tewas dalam perang melawan Belanda.

Hingga kini tinggal enam orang yang masih hidup, satu di antaranya adalah Abdul Rosid atau Yukitoshi Tanaka. Sebanyak 28 orang Jepang, yang berstatus veteran Indonesia, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Kisah tentang mantan serdadu Jepang yang ikut pemuda Indonesia berperang melawan Belanda banyak muncul di daerah. Misalnya kisah tentang Ichiki Tatsuo, yang memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda di Dampit, Malang—sebagaimana dituturkan dalam buku Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, penerbit Obor, 1988. Ichiki Tatsuo yang telah mengganti namanya dengan Abdul Rachman tewas diterjang peluru Belanda dalam pertempuran tanggal 9 Januari 1949.

Akan tetapi, bertahun-tahun pascakemerdekaan, kisah kepahlawanan mantan serdadu Jepang itu banyak terbungkam oleh kisah kekejaman kempetai pada romusha dan kisah penuh haru-biru tentang jugun ianfu.

Dari Fuji ke Merapi

Bagi Tanaka, keputusan untuk menetap dan membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan agresi Belanda awalnya dilandasi rasa bimbang. ”Bagaimana nasib saya jika tetap di Indonesia? Namun, bagaimana harus menanggung malu jika pulang ke Jepang?” kenang Tanaka. Kekalahan, dalam pikiran Tanaka, lebih buruk dibandingkan dengan kematian.

Tanaka kemudian memilih menetap di Indonesia, lebih karena rasa tanggung jawabnya kepada Eulis dan Yuriko, anak pertama mereka yang waktu itu berumur dua tahun. Namun, perjalanan mengungsi membawa Tanaka bertemu dengan pasukan Siliwangi yang tengah bergerilya.

Setelah sempat dicurigai sebagai mata-mata Belanda dan ditahan oleh Badan Keamanan Rakyat, Tanaka kemudian justru diangkat sebagai anggota kesatuan itu. Tugasnya, mengintai pergerakan tentara Belanda.

Tanaka dan keluarganya mengikuti pergerakan pasukan Siliwangi hingga ke Yogyakarta. Di kota itu dia bertemu dengan Suryadarma, Komandan Angkatan Udara Tentara Indonesia, yang semasa penjajahan Jepang pernah berhubungan baik dengan Tanaka. Dia lalu bergabung dengan Angkatan Udara.

Sejak tahun 1951 dia menetap di Kaliurang, dengan surat tugas resmi dari Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai pengelola Rumah Kesehatan Kaliurang—sekarang menjadi Hostel Vogel. Di lereng Gunung Merapi itulah Tanaka membesarkan delapan anaknya.

Sesekali Tanaka diminta membantu proyek Jepang di Indonesia, misalnya pembangunan Hotel Ambarukmo yang didanai dengan dana pampasan perang Jepang. Pada 17 Agustus 1995, Tanaka, yang berstatus veteran Tentara Indonesia ini, mendapat penghargaan atas jasa-jasa pengembangan persahabatan Indonesia-Jepang dari Duta Besar Jepang.

Bagi Tanaka, Gunung Merapi ibarat hidupnya yang kedua. Hidupnya yang pertama di bawah naungan Gunung Fuji. ”Saya menjalankan kehidupan kedua ini dengan nama Abdul Rosid. Saya berusaha menjaga sikap tidak mendahulukan kepentingan sendiri, menjauhkan diri dari sifat rakus, serta tidak mengganggu orang lain. Saya mengharapkan bisa berperan sebagai salah satu batang kayu penjaga jembatan penghubung Jepang dan Indonesia,” tulis Tanaka dalam buku kecil Tapak Tilas Tanaka, yang dibuat keluarganya menyambut ulang tahun ke-100 Tanaka, Oktober 2007.

”Saya yakin, apa yang saya lakukan tidak salah, asalkan anak-anak saya, tiga laki-laki dan lima perempuan, masing-masing bisa menunjukkan kehidupan yang benar sebagai orang Indonesia yang mewarisi darah Jepang...,” tambah Tanaka.

Hari-hari Tanaka kini sepi semenjak Eulis meninggal tahun 1997.

”Saya melewati sisa-sisa kehidupan ini dengan rasa sepi, bagaikan angin bertiup dari celah pintu,” ujarnya.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com