Salin Artikel

Jika Tidak dengan Prabowo, Lantas Siapa Pendamping Ideal Ganjar Pranowo?

Wacana tersebut mencuat nyaris bersamaan dengan bergabungnya Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), lalu ujuk-ujuk langsung didapuk jadi Ketua Umumnya.

Ditambah lagi pernyataan Puan Maharani dan Ganjar Pranowo yang secara diplomatis tidak membantah kemungkinan "merger" antara Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Keduanya justru menekankan bahwa dinamika politik nasional saat ini masih sangat fleksibel dan bisa berubah kapan pun, termasuk kemungkinan "merger" antara kedua kandidat.

Dan wacana tersebut semakin menyulut spekulasi saat Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bertemu baru-baru ini. Publik dan para pengamat mulai berspekulasi bahwa topik pemasangan Ganjar dan Prabowo menjadi salah satu topik utama pertemuan.

Spekulasi akhirnya terbantahkan oleh pernyataan Arsjad Rasyid, Ketua Tim Pemenangan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024, yang mengatakan bahwa tak ada topik soal rencana pemasangan Ganjar dan Prabowo dalam pertemuan Megawati dan Prabowo.

Dalam pembukaan Rakernas IV PDIP di Jakarta sehari lalu, juga mempertegas ketidaknyataan wacana tersebut, di mana Megawati, Ganjar, dan Jokowi tidak sama sekali mengangkat isu tersebut dalam pidato mereka.

Seperti yang sempat saya bahas di tulisan terdahulu, wacana pemasangan tersebut sangat tidak masuk akal, baik dari sisi kalkulasi teknis politik, dari sisi rasionalitas politik, maupun dari sisi etika politik terkait aspirasi yang sudah terlanjur berkembang di kalangan pemilih PDIP di mana Ganjar Pranowo adalah bakal calon presiden, bukan bakal calon wakil presiden.

Dengan kata lain, mempertahankan potensi keberadaan tiga pasangan calon dalam pemilihan presiden 2024, adalah opsi yang paling bisa diterima akal sehat dan kalkulasi rasional politik di satu sisi dan paling etis secara moralitas politik di sisi lain.

Tiga pasangan bakal calon sudah menjadi representasi aspirasi politik yang berkembang selama ini.

Lantas, jika memang wacana pemasangan Ganjar dan Prabowo yang disertai dengan wacana pemilihan satu putaran tidak bisa dipertahankan, begitu pula dengan peluang Ridwan Kamil (RK) yang seketika akhirnya juga ikut menghilang, pertanyaannya kemudian adalah, siapakah yang akan menjadi bakal calon wakil presiden untuk Ganjar Pranowo?

Melihat perkembangan isu bakal calon wakil presiden Ganjar belakangan ini, terutama setelah nama RK menghilang dari ekuasi politik bakal calon presiden Ganjar Pranowo, nama Mahfud MD adalah nama yang masih bertahan dengan baik di dalam peredaran isu terkait.

Bertahannya nama Mahfud MD cukup bisa dimaklumi. Pertama, latar belakang Mahfud yang berasal dari kaum Nahdliyin tentu menjadi pertimbangan utama PDIP.

Kedua, PDIP ternyata juga masih memberikan pertimbangan utama pada penguasaan wilayah pemilihan Jawa Timur, yang notabene sebagai kantong utama pemilih Nahdliyin.

Ketiga, tentu PDIP juga berkaca pada sejarah koalisi PDIP yang memang selalu mesra dengan tokoh Nahdliyin dan organisasi Nahdliyin Nahdlatul Ulama (NU).

Referensi terbaru tentu pemilihan presiden 2019 lalu, di mana Jokowi berpasangan dengan tokoh senior NU, KH Ma’ruf Amin, yang ikut memastikan bertahannya Jokowi di Istana sampai hari ini.

Preseden politik lainnya adalah pemilihan presiden 2004, di mana Megawati berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi. Namun tahun itu, Megawati dan PDIP harus menelan kekalahan yang cukup telak dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Pun di saat Megawati menjadi presiden, Megawati ditemani tokoh yang juga diidentifikasi memiliki latar NU, yakni Hamzah Haz.

Selama keduanya berpasangan sebagai presiden dan wakil presiden, nyaris tak ada ketegangan politik yang berarti di antara keduanya, layaknya ketegangan politik antara SBY dan JK, yang membuat SBY kemudian harus memilih Boediono pada pemilihan presiden 2009.

Namun jika dikaitkan dengan potensi elektoral dari koalisi PDIP dan kalangan Nahdliyin, era Megawati dan Hamzah Haz semestinya tak dijadikan referensi dan preseden, karena tidak dipilih melalui pemilihan langsung.

Jadi yang layak dijadikan pertimbangan hanya pemilihan 2004 dan 2019 di mana PDIP sama-sama menggandeng tokoh NU sebagai calon wakil presiden.

Dari kedua preseden tersebut, maka hasilnya ternyata sangat tidak meyakinkan. Pada 2004, Megawati dan KH Hasyim Muzadi kalah telak.

Sementara 2019, Jokowi dan Ma’ruf Amin menang, tapi tidak telak, alias dengan marjin yang tidak terlalu lebar.

Artinya apa? Artinya, belum ada jaminan pasti bahwa bakal calon presiden dari PDIP akan menang jika kembali dipasangkan dengan tokoh NU.

Selain dua referensi di atas yang hasilnya masih 50:50, karena yang pertama kalah dan yang kedua menang, ada beberapa hal lagi yang harus ditimbang secara mendalam oleh PDIP.

Pertama, pada Pilpres 2019, Jokowi berpasangan dengan calon wakil presiden dari NU non Jawa, yang punya basis suara di Banten dan Jawa Barat.

Jadi kala itu suara Jokowi cukup terbantu oleh Ma’ruf Amin di Banten dan Jawa Barat, bukan hanya di Jawa Timur karena alasan Ma’ruf Amin adalah tokoh senior NU.

Dengan kata lain, jika PDIP masih bertahan dengan rumusan klasik untuk tetap mencari celah bersama dengan tokoh NU, maka tokoh tersebut harusnya memiliki potensi suara di kantong suara yang memiliki pemilih besar, terutama Jawa Barat dan Banten, alias tidak hanya Jawa Timur.

Kedua, pemilihan Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presiden Anies Baswedan akan sangat berpengaruh pada suara Nahdliyin tahun 2024 nanti.

Prabowo mengalami kekalahan pada 2019, karena Sandiaga Uno tidak mampu menopang suara Prabowo di kantong-kantong suara Nahdliyin.

Namun Susilo Bambang Yudhoyono bisa mengalahkan Megawati pada 2004, tak lepas dari ketokohan JK di kalangan Nahdliyin dan organisasi NU.

Dengan asumsi itu, Cak Imin sangat berpeluang mengemban fungsi sebagaimana fungsi elektoral JK tahun 2004 yang membuat Megawati dan KH Hasyim Muzadi kalah.

Apalagi, Cak Imin adalah ketua partai yang memang dianggap sebagai salah satu corong politik utama NU selama ini.

Sementara Sandiaga Uno tidak menjalankan fungsi itu pada 2019, yang akhirnya membuat Jokowi dan Ma’ruf Amin bisa menang tipis dari Prabowo.

Artinya, pada putaran awal pemilihan, Ganjar Pranowo dan siapapun tokoh Nahdliyin yang ia gandeng diperkirakan akan bersaing super ketat dengan Anies Baswedan dan Cak Imin di kantong-kantong suara Nahdliyin.

Sekalipun relasi Ganjar Pranowo dan PDIP selama ini sangat baik dengan NU dan tokoh-tokoh NU, relasi Cak Imin dan PKB dengan NU dan kalangan Nahdliyin juga tak bisa dianggap sebelah mata. Potensinya dalam menggasak suara di kantong pemilih Nahdliyin tetap sangat besar.

Arti lanjutannya, jika pemasangan Ganjar Pranowo dengan tokoh NU lainnya tidak dihitung secara seksama dan detail, maka keputusan tersebut di tataran operasional berpotensi mengalami hal serupa dengan yang dialami oleh Megawati - KH Hasyim Muzadi tahun 2004, alias bukan menuai kemenangan layaknya Jokowi dan Ma’ruf Amin pada 2019.

Pada tulisan terdahulu, saya mencoba menjawab dilema ini dengan melebarkan wilayah pertarungan ke Jawa Barat dengan menggandeng Ridwan Kamil (RK). Namun nampaknya prasyarat politik tak terpenuhi untuk itu.

Karena itu, kalkulasi mendalam lainnya harus dilakukan, agar bakal cawapres lainnya bisa mengurai dilema elektoral di atas.

Asumsikan, misalnya, memang dengan Mahfud MD, sebagaimana ramai diberitakan belakangan. Maka kekuatan elektoral Mahfud harus benar-benar diuji terlebih dahulu, bukan saja untuk Jawa Timur dan Madura, tapi juga untuk Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten, dan luar Jawa.

Karena jika Ganjar dipasangkan dengan Mahfud MD, maka secara etnis komposisinya menjadi "Jawa-Jawa".

Sementara saat PDIP memasangkan Jokowi dengan Ma’ruf Amin dan memenangkan pemilihan, komposisinya bukan "Jawa-Jawa".

Meskipun Ma’ruf Amin bukanlah dari luar Pulau Jawa, namun secara etnis Ma’ruf Amin bukanlah dari etnis Jawa, tapi Banten, yang membuatnya mudah diterima di luar teritori yang dihuni oleh etnis Jawa, seperti Provinsi Banten dan Jawa Barat.

Apalagi di pemilihan mendatang, jumlah pemilih tetap di kedua provinsi sangatlah besar, karena itu akan menjadi faktor yang sangat menentukan.

Berdasaskan data pemilih tetap Komisi Pemilihan Umum (KPU), di Provinsi Jawa Barat saja tercatat 35.714.901 pemilih, jauh di atas Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah pemilih tetap sebesar 28.289.413 pemilih dan juga masih di atas jumlah pemilih tetap di Provinsi Jawa Timur yang sebesar 31.402.838 pemilih.

Apalagi ditambah dengan potensi suara di Provinsi Banten yang tercatat sebesar 8.842.646 pemilih.

Jadi pendek kata, jika PDIP memang tetap mempertahankan formula lama, yakni berpasangan dengan tokoh NU, baik Mahfud MD maupun tokoh NU lainnya, maka dilema-dilema di atas harus benar-benar bisa terjawab terlebih dahulu.

Tokoh tersebut bukan hanya untuk memenangkan Ganjar Pranowo di Jawa Timur, tapi juga bisa memberikan kontribusi suara yang signifikan dari kantong padat pemilih seperti Jawa Barat, Banten, dan beberapa kawasan utama di luar Jawa.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/01/06153291/jika-tidak-dengan-prabowo-lantas-siapa-pendamping-ideal-ganjar-pranowo

Terkini Lainnya

Survei Litbang 'Kompas' Sebut KPK Dinilai Diintervensi, Wakil Ketua: Jalur Komando dari Instansi Luar Harus Diputus

Survei Litbang "Kompas" Sebut KPK Dinilai Diintervensi, Wakil Ketua: Jalur Komando dari Instansi Luar Harus Diputus

Nasional
Sengketa Pileg yang Dikabulkan MK Naik 3 Kali Lipat, KPU Sebut Ada Konteks yang Beda

Sengketa Pileg yang Dikabulkan MK Naik 3 Kali Lipat, KPU Sebut Ada Konteks yang Beda

Nasional
Masalah Lahan Jadi Kendala Pembangunan IKN, Mendagri Janji Bantu Basuki Hadimuljono

Masalah Lahan Jadi Kendala Pembangunan IKN, Mendagri Janji Bantu Basuki Hadimuljono

Nasional
Jokowi Kunjungi Posyandu di Bogor, Tinjau Upaya Cegah Stunting

Jokowi Kunjungi Posyandu di Bogor, Tinjau Upaya Cegah Stunting

Nasional
Ponsel Hasto PDI-P Disita KPK, Terkait Harun Masiku?

Ponsel Hasto PDI-P Disita KPK, Terkait Harun Masiku?

Nasional
Kemenlu Akan Lindungi WNI yang Ditangkap karena Haji Ilegal

Kemenlu Akan Lindungi WNI yang Ditangkap karena Haji Ilegal

Nasional
Gugatan Kandas di MK, PPP Cari Cara Lain untuk Masuk Parlemen

Gugatan Kandas di MK, PPP Cari Cara Lain untuk Masuk Parlemen

Nasional
Komnas Perempuan Sebut UU KIA Berisiko Sulit Diterapkan

Komnas Perempuan Sebut UU KIA Berisiko Sulit Diterapkan

Nasional
Sama-sama Pernah Menang di Jatim, PDI-P Beri Sinyal Koalisi dengan PKB pada Pilkada 2024

Sama-sama Pernah Menang di Jatim, PDI-P Beri Sinyal Koalisi dengan PKB pada Pilkada 2024

Nasional
Pemerintah Tak Ikut Campur soal PKPU Syarat Usia Calon Kepala Daerah

Pemerintah Tak Ikut Campur soal PKPU Syarat Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Judi Online Makan Korban Lagi, Menkominfo Mengaku Tak Bisa Kerja Sendiri

Judi Online Makan Korban Lagi, Menkominfo Mengaku Tak Bisa Kerja Sendiri

Nasional
Upacara 17 Agustus Tahun Ini, Jokowi Didampingi Prabowo di IKN, Ma'ruf-Gibran di Jakarta

Upacara 17 Agustus Tahun Ini, Jokowi Didampingi Prabowo di IKN, Ma'ruf-Gibran di Jakarta

Nasional
Diplomasi Prabowo untuk Gaza: Siap Kerahkan Pasukan Perdamaian, tapi Harus Tunggu Gencatan Senjata

Diplomasi Prabowo untuk Gaza: Siap Kerahkan Pasukan Perdamaian, tapi Harus Tunggu Gencatan Senjata

Nasional
[POPULER NASIONAL] Pemerintah Sebut 'Judol' Sudah Sangat Parah | KPK Sita Ponsel Hasto

[POPULER NASIONAL] Pemerintah Sebut "Judol" Sudah Sangat Parah | KPK Sita Ponsel Hasto

Nasional
Akhir 31 Tahun PPP di Senayan: Konflik Internal, Salah Dukung, dan Evaluasi Sistem Pemilu

Akhir 31 Tahun PPP di Senayan: Konflik Internal, Salah Dukung, dan Evaluasi Sistem Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke