"Menyatakan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 ... bertentangan dengan Undang-undang Nomor Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women)," tulis putusan tersebut.
"Dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas'," demikian bunyi putusan itu lagi.
Putusan yang diketuk palu oleh ketua majelis hakim, Irfan Fachruddin, dengan dua anggota majelis hakim, Cerah Bangun dan Yodi Martono ini sekaligus mengabulkan gugatan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang menilai pasal tersebut mengancam keterwakilan calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024.
Dalam pasal itu, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat delapan caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari lima, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total delapan caleg di dapil itu cukup hanya dua orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sebelumnya menganggap tidak masalah rencana judicial review (JR) Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 ke MA.
"Judicial review terhadap peraturan yang diterbitkan lembaga merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh undang-undang," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, kepada wartawan pada 25 Mei 2023.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/30/05210021/ma-sebut-hitungan-keterwakilan-caleg-perempuan-oleh-kpu-langgar-uu-pemilu