Permohonan uji materi yang dikabulkan itu dilayangkan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
"Tanggal putus 29 Agustus 2023. Amar putusan: kabul permohonan keberatan," demikian bunyi putusan perkara nomor 24 P/HUM/2024 dikutip situs resmi MA pada Selasa (29/8/2023).
Putusan itu diketuk palu oleh Ketua Majelis Hakim Irfan Fachruddin, dengan 2 anggota majelis hakim Cerah Bangun dan Yodi Martono.
Aturan yang dimaksud yaitu Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota.
Pasal itu diuji terhadap Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945, Pasal 245 UU Pemilu, dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
"Setelah ditunggu beberapa lama, KPU tidak menepati janjinya untuk merevisi Peraturan KPU, maka tidak ada pilihan lain selain mengajukan uji materi terhadap Peraturan KPU ke Mahkamah Agung," ujar perwakilan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang bertindak sebagai kuasa hukum, Senin (5/6/2023).
Uji materi ini diajukan dengan diwakili 5 pemohon yang terdiri dari 2 badan hukum privat dan 3 perseorangan.
Dua badan privat itu yakni Perludem dan Koalisi Perempuan Indonesia.
Sementara itu, 3 orang pemohon lainnya yakni peneliti senior NETGRIT sekaligus mantan Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay, pakar hukum kepemiluan UI sekaligus anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, serta perwakilan Maju Perempuan Indonesia sekaligus eks Komisioner Bawaslu RI, Wahidah Suaib.
Aktivis HAM sekaligus pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala, beserta eks komisioner KPU RI dan DKPP RI, Ida Budhiati didapuk sebagai 2 orang ahli guna memperkuat dalil-dalil permohonan yang diajukan.
Dalam permohonannya, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan meminta agar Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dinyatakan bertentangan dengan UU Pemilu dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Mereka meminta agar ketentuan pembulatan ke bawah yang diterapkan KPU dalam menghitung jumlah bakal caleg perempuan di suatu daerah pemilihan (dapil) dihapus dan sebagai gantinya pembulatan dilakukan ke atas.
Dalam pasal itu, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah.
Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
KPU RI sebelumnya sudah menganggap tidak masalah rencana judicial review (JR) Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 ke MA.
"Judicial review terhadap peraturan yang diterbitkan lembaga merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh undang-undang," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, kepada wartawan pada Kamis (25/5/2023)
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/29/19184051/ma-kabulkan-gugatan-terhadap-aturan-kpu-yang-ancam-keterwakilan-caleg