"Penting buat parpol karena pilkada ini serentak dan boleh jadi merupakan semacam miniatur Pemilu 2019, karena melibatkan sedemikian besar pemilih, dan serentak," kata Philips di Jakarta, Senin (5/2/2018).
Philips menuturkan, nampaknya partai yang akan merasakan tekanan psikologis berat di Pilkada ini adalah PDI-P.
Salah satu alasannya ialah perubahan tren kemenangan PDI-P di pilkada-pilkada jelang Pilpres 2014 dengan pilkada-pilkada jelang Pilpres 2019.
"Pilkada-pilkada jelang pilpres 2014 itu trennya untuk PDI-P sangat positif," kata Philips.
Padahal saat itu PDI-P sudah selama 10 tahun menjadi partai oposisi di luar pemerintahan. Namun ternyata saat pilkada 2012 dan 2013, tren positif diperoleh PDI-P.
Pertama, dimulai dari Pilkada DKI, dimana Joko Widodo menang bersama Basuki Tjahaja Purnama. Kemudian di Jawa Barat, ada pasangan Rieke Diah Pitaloka- Teten Masduki.
Meskipun selama proses kampanye, paslon ini selalu menjadi "Underdogs" namun akhirnya keluar sebagai juara kedua.
Demikian juga di Sumatera Utara, pasangan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi meraup suara terbanyak kedua.
"Lalu di Jateng, Pak Ganjar menang. Tapi yang terjadi sekarang, tren 2017 agak negatif," kata Philips.
Di Jakarta, paslon yang diusung PDI-P kalah. Begitu juga dengan petahana di Banten, dan beberapa daerah lainnya.
"Jadi menurut saya, Pilkada 2018 sangat penting bagi PDI-P agar dia tetap bisa menjaga momentum buat pendukungnya dan mesin partainya," pungkas Philips.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/05/22333951/csis-tekanan-psikologis-pilkada-2018-paling-berat-dirasakan-pdi-p