Sampai saat ini, sudah banyak kasus-kasus yang ditangani LPSK. Terhitung sampai dengan Juni 2015, ada sekitar 1.300 berbagai bentuk perlindungan sudah diberikan LPSK terhadap saksi dan korban (LPSK, 2016).
Namun, dari banyaknya kasus yang ditangani tersebut, masih ada hambatan formal dalam memohonkan perlindungan terhadap LPSK, yang berasal dari pengaturan mengenai permohonan perlindungan baik dari undang-undang sampai dengan peraturan yang diatur di tingkat instansi seperti peraturan di tingkat kepolisian dan LPSK sendiri.
Hambatan formal yang dimaksud dalam tulisan ini akan dikaitan dengan kasus tindak pidana yang dilakukan aparat keamanan seperti Polri.
Gap peraturan antarinstitusi
Ada beberapa peraturan yang mendukung terlaksananya pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, di antaranya Peraturan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (PerKLPSK), Peraturan Kapolri (Perkap), dan Peraturan terkait Perlindungan Saksi dan Korban.
Peraturan tersebut saling melengkapi satu sama lain. Misal, dalam Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2015, salah satu persyaratan formal untuk mengajukan permohonan perlindungan dari LPSK adalah fotokopi dokumen dari instansi yang berwenang yang menyatakan pemohon berstatus sebagai saksi, korban dan/atau pelapor dalam kasus tindak pidana atau kasus pelanggaran berat HAM.
Dalam Perkap No. 12 Tahun 2009, disebutkan bahwa Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) yang menerima laporan/pengaduan wajib memberikan Surat Tanda Terima Laporan (STTL) kepada pelapor/pengadu sebagai tanda bukti telah dibuatnya laporan polisi.
STTL inilah yang nantinya menjadi syarat formal korban ataupun pelapor tindak pidana untuk mendapatkan perlindugan LPSK.
Namun, STTL menjadi barang yang sulit didapat sejak tahun 2012 sejak dikeluarkannya Perkap No. 14 Tahun 2012 yang mencabut Perkap No. 12 Tahun 2009. Dalam Perkap No. 14 tersebut, SPK tidak diwajibkan untuk menyerahkan STTL atas suatu laporan dugaan tindak pidana.
Dampak dari penerbitan peraturan ini bukan hanya permohonan perlindungan bagi saksi atau korban tindak pidana tersendat, tetapi juga masyarakat yang mencari keadilan dengan melaporkan suatu tindak pidana ke lembaga kepolisian tidak mendapat kejelasan apakah laporan tindak pidana diterima dan diproses administratif.
Sebenarnya, selain STTL, untuk menandakan pemohon merupakan korban ataupun saksi dari suatu tindak pidana, Perkap No. 12 Tahun 2009 juga mewajibkan polisi untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) minimal satu bulan sekali selama proses penyidikan dilakukan. Dengan begitu, permohonan perlindungan ke LPSK dapat menggunakan SP2HP tersebut.
Namun, sejak adanya Perkap No. 14 Tahun 2012, masyarakat tidak lagi dapat mengetahui status perkembangan kasus tindak pidana yang menimpa dirinya. Dengan kata lain akuntabilitas dan transparansi penyidikan tidak lagi terjamin.
Pengaturan yang sumir
Selain peraturan dari instansi di luar LPSK, seperti perkap, peraturan terkait perlindungan saksi dan korban sendiri perlu diperjelas sehingga memudakan pemohon dalam mengakses perlindungan.
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa korban tindak pidana berhak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan berhak bebas dari pertanyaan yang menjerat. Dua hak tersebut belum jelas sehingga membuat norma tersebut tidak aplikatif, terutama bagi korban tindak pidana oleh aparat penegak hukum.
Pertama, di dalam norma, korban berhak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. Namun, pengaturan tersebut tidak menjelaskan siapa yang harus menjalankan, apakah LPSK sebagai lembaga yang menjalankan fungsi perlindungan saksi dan/atau korban atau kah pihak kepolisian sebagai pihak yang menangani perkara pidana.
Dalam hal ini, korban tindak pidana oleh aparat penegak hukum harus melakukan permohonan informasi kepada pihak kepolisian berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 untuk mengetahui perkembangan kasus yang ia laporkan, dengan catatan, prosesnya memakan waktu cukup lama.
Kedua, sulit bagi korban tindak pidana untuk terbebas dari pertanyaan yang menjerat terutama dari kepolisian apabila perlindungan baru bisa diberikan setelah adanya laporan terhadap pihak kepolisian. Dalam melakukan pelaporan, korban aparat penegak hukum mendapatkan pertanyaan yang menjerat ketika melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
Ketidakjelasan pengaturan dalam UU No. 31 Tahun 2014 dapat diatur di dalam PerKLPSK. Adapun dalam tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, LPSK perlu memberikan perlakuan khusus atau affirmative action bagi si korban. Misal, korban tersebut tidak harus memberikan surat dari instansi yang menyatakan dirinya merupakan korban tindak pidana.
Dalam hal ini, korban yang dapat membuktikan bahwa dirinya merupakan korban tindak pidana dari aparat penegak hukum bisa langsung memohonkan perlindungan untuk jaminan perlindungan bagi korban apabila nantinya si korban melaporkan suatu tindak pidana ke pihak kepolisian.
Selain itu, apabila dilihat dari perspektif ilmu korban atau viktimologi, tidak mudah bagi korban tindak pidana, terutama terkait dengan kekerasan, untuk mengungkapkan tindak pidana yang menimpa dirinya, terlebih tindakan yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Karena itu, menetapkan STTL ataupun SP2HP sebagai syarat formal memohon perlindungan ke LPSK merupakan obstruksi pencarian keadilan oleh korban kesewenangan aparat penegak hukum.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/09/08390681/obstruksi-korban-aparat-penegak-hukum-mengakses-perlindungan