PARA pembaca kolom saya pasti tahu bahwa saya menentang semua yang berbau elitis, yang sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri, dan tidak masuk akal di sekitar ASEAN. Saya lebih memilih untuk fokus pada kenyataan dan kehidupan yang sering terabaikan oleh lembaga daerah.
Saya lebih tertarik pada kehidupan sehari-hari masyarakat ASEAN, tentang bagaimana mereka hidup, harapan dan impian mereka, serta kota-kota dan daerah-daerah di luar ibu kota, tempat yang kerap kali kurang mendapat perhatian dari para kelompok media arus utama.
Inilah yang membawa saya ke kota Solo, Jawa Tengah, pekan lalu, di mana kami membuat acara Ceritalah ASEAN yang pertama, dengan mempertemukan sejumlah praktisi media dan pengusaha dari berbagai kota lapis kedua di ASEAN (terima kasih untuk Air Asia dan Lion Air atas dukungannya!).
Hanya satu dari delapan acara yang kami gelar selama dua hari di Solo ini yang diadakan di hotel. Selebihnya, kami menghabiskan banyak waktu berkeliling Solo dari kafe ke tempat batik, toko-toko, sekolah dan universitas.
Kami juga menyempatkan diri melakukan beberapa tur singkat ke pasar, museum dan warung pinggiran, itu hanya sebagai waktu santai yang bisa Anda dapat!
Selain itu, diskusi yang berlangsung dalam acara ini juga tidak kami dibatasi. Seringkali peserta atau audiens yang justru mengendalikan sesi diskusi.
Sebagai contoh, ketika Ceritalah ASEAN bertemu dengan sejumlah pengusaha batik dan kami mendiskusikan tentang industri kreatif di Solo (tentang proses pembuatan batik yang berkembang), seorang wanita dengan tinggi 150 cm yang mengenakan hijab, maju ke depan seakan ingin mengajukan pertanyaan.
Namun, Ibu Haryani (saya berhasil mewawancarainya setelah itu), seorang guru sekolah berumur enam puluh satu tahun menghadap ke penonton dengan mikrofon di tangan lalu mulai bernyanyi.
Dan karena bersenang-senang tidak dilarang di ASEAN, salah satu tamu kami dari Filipina, Sofronion “BJ” Jucutan dari Kadin Davao naik ke panggung dan menunjukkan kepada ratusan mahasiswa yang kontan menjerit-jerit ketika dia menunjukkan bagaimana cara memakan balut, telur bebek rebus yang berisi embrio bebek yang hampir sempurna, makanan khas Filipina yang sedikit menjijikan.
Kemudian, ketika di Pondok Assalam, saya pun terpesona dengan para siswi yang berpakaian sopan begitu bersemangat mengajukan beberapa pertanyaan tentang ASEAN.
Setelah dua hari yang melelahkan, saya berharap telah melakukan sesuatu untuk menunjukkan bahwa ASEAN bukan sesuatu yang menjemukan atau tidak terhubung satu sama lain. Diskusi ini sejatinya mengungkapkan tentang pentingnya kota-kota "lapis kedua” seperti Davao, Bach Ninh, Chiang Mai dan tentu saja, Solo.
Mari bandingkan dengan ibu kota di negara-negara Asia Tenggara yang memiliki pusat perbelanjaan raksasa dengan merek-merek membosankan yang sama, kemacetan lalu lintas yang begitu masif, monoton dan menjemukan. Inilah yang disebut kota “kosmopolitan” para elit.
Masing-masing dari kota-kota lapis kedua yang saya kunjungi memiliki ciri khas sendiri:
? Iloilo terkenal dengan gereja-gereja yang indah era Spanyol dan arsitekturnya;
? Manado di Sulawesi Utara memiliki warisan yang kaya dari suku Minahasa, pegunungan dan lautan dalam;
? Pathein di tepi Sungai Ayeyarwaddy yang merupakan pusat area persawahan yang berkembang di Myanmar;
? Bach Ninh di Vietnam dengan pabrik Samsung-nya dikenal sebagai pusat industri pembangkit tenaga listrik baru;
? Ipoh di Malaysia memiliki makanan-makanan lezat