Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/09/2016, 21:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Suara Nagiyah (42) bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 2003 kembali terlintas dalam ingatannya. Suaminya, Harna (37), meninggal dalam peristiwa itu.

Meskipun sudah 13 tahun berlalu, Nagiyah tak bisa melupakan tragedi itu. Saat itu, ia tahu ada ledakan bom di JW Marriott dari tayangan televisi. Ia tidak menduga suaminya yang bekerja sebagai sopir taksi menjadi korban, sampai akhirnya pihak perusahaan tempat suaminya bekerja memberi kabar duka itu.

”Saat itu anak-anak masih kecil, anak pertama (Nisa) berumur 6 tahun, anak kedua (Dini) 5 tahun, dan anak bungsu Fakhri) 1,5 tahun. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan kami selanjutnya,” kata Nagiyah dalam acara yang diadakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Solo, Jawa Tengah, Senin-Selasa (19-20/9).

Christian Salomo, salah satu korban ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, juga masih mengingat peristiwa mengerikan yang menimpanya pada tahun 2004. Akibat ledakan bom itu, ia terluka parah. Tubuhnya mendapat 600 jahitan. Bahkan, hingga sekarang, masih ada pecahan logam tertinggal di dalam kepalanya. ”Saya beruntung bisa selamat,” ujarnya.

Seiring waktu berputar, Nagiyah dan Christian telah kembali bangkit. Mereka yang semula sangat marah kepada para pelaku kini bahkan mampu memaafkan. Bersama para korban bom lainnya, mereka bergabung dalam tim perdamaian AIDA. Direktur Eksekutif AIDA Hasibullah Satrawi menyatakan, ada 21 korban dan 2 mantan kombatan atau pelaku teror bergabung dalam tim kampanye perdamaian AIDA.

Turut bergabung dalam tim, mantan kombatan Ali Fauzi Manzi. Ia adalah alumnus akademi militer Front Pembebasan Islam Moro (MILF) tahun 2004, juga adik Ali Imron dan Amrozi yang dihukum mati karena kasus bom Bali tahun 2002. ”Kami mengajak mereka mengampanyekan perdamaian agar jangan ada lagi teror dan korban yang jatuh,” ujar Hasibullah.

Menurut dia, korban adalah pihak yang merasakan langsung dampak mengerikan terorisme. Ibaratnya, hanya orang yang minum jamu yang tahu pahitnya jamu. Para mantan pelaku teror juga dirangkul untuk menyebarkan pesan perdamaian dan deradikalisasi.

”Kalau sudah korban yang menyampaikan perdamaian, itu dari hati. Ketika mereka menyampaikan pesan-pesan perdamaian masyarakat akan langsung setuju,” katanya.

Sayangnya, pemerintah kurang memberdayakan korban untuk hal ini. Persoalan lainnya, perhatian negara kepada korban terorisme juga lemah. Mereka kerap harus berjuang sendirian melanjutkan kehidupannya. Bantuan justru lebih banyak datang dari swasta bahkan negara lain.

Christian, misalnya, mengaku justru banyak mendapat bantuan untuk pengobatan dari Pemerintah Australia. Nagiyah juga mampu melanjutkan kehidupannya bersama anak-anak dari sumbangan berbagai pihak. Kondisi itu, menurut Hasibullah, terjadi karena lemahnya regulasi terkait hak korban.

Masih mengancam

Saat ini, menurut Ali Fauzi, ancaman teror tetap tinggi meskipun secara kualitas menurun. Regenerasi pelaku terus berjalan melalui penyebaran paham radikal. ”Yang direkrut dari kelompok umur 15-25 tahun. Mereka direkrut lewat dunia pendidikan. Ada sebagian lembaga pendidikan yang dijadikan ajang perekrutan. Perekrutan itu juga dilakukan lewat pengajian rahasia,” katanya.

Perekrutan juga memanfaatkan media sosial. Anak-anak muda yang memiliki pemikiran radikal lebih mudah dipengaruhi untuk direkrut. Mereka dilatih kemampuan dasar militer di pegunungan-pegunungan di pedalaman dalam waktu beberapa minggu.

Metode pelatihan sekarang berbeda dengan yang dijalani kelompok radikal pada era tahun 2000-2009. Ali mengatakan, pada periode 2000-2009 pelatihan dijalani di kamp-kamp MILF di Filipina atau di Afganistan. Dari pelatihan-pelatihan itu, akhirnya memiliki kemampuan matang hingga mampu merakit bom seberat 350 kilogram hingga lebih dari 1 ton yang bisa menewaskan banyak korban. Kemampuan itu kini tidak dimiliki para pelaku yang melancarkan teror kurun 2009- 2016. Meski begitu, ancaman terorisme tetap harus diwaspadai.

Kala teror masih mengancam, para korban kian gigih menyemai benih-benih perdamaian kepada masyarakat.

”Agar apa saya alami tidak menimpa korban lain,” kata Sudarsono, anggota tim perdamaian AIDA yang juga korban bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004. (RWN)

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 22 September 2016, di halaman 3 dengan judul "Jangan Ada Lagi Korban"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Hukum Minta Bandar Judi Online Dijerat TPPU

Pakar Hukum Minta Bandar Judi Online Dijerat TPPU

Nasional
Pemerintah Putuskan Tak Bayar Tebusan ke Peretas PDN, Data Dibiarkan Hilang

Pemerintah Putuskan Tak Bayar Tebusan ke Peretas PDN, Data Dibiarkan Hilang

Nasional
Pimpinan Komisi VII Wanti-wanti Pengelolaan Tambang Ormas Rentan Ditunggangi Konglomerat

Pimpinan Komisi VII Wanti-wanti Pengelolaan Tambang Ormas Rentan Ditunggangi Konglomerat

Nasional
745 Personel Polri Dimutasi, Kadiv Propam Irjen Syahardiantono Naik Jadi Kabaintelkam

745 Personel Polri Dimutasi, Kadiv Propam Irjen Syahardiantono Naik Jadi Kabaintelkam

Nasional
Pesan Panglima TNI untuk Pilkada 2024: Jika Situasi Mendesak, Tugas Prajurit Melumpuhkan, Bukan Mematikan

Pesan Panglima TNI untuk Pilkada 2024: Jika Situasi Mendesak, Tugas Prajurit Melumpuhkan, Bukan Mematikan

Nasional
Pemerintah Akui Tak Bisa Pulihkan Data Kementerian/Lembaga Terdampak Peretasan PDN

Pemerintah Akui Tak Bisa Pulihkan Data Kementerian/Lembaga Terdampak Peretasan PDN

Nasional
Pilkada 2024, TNI Siapkan Personel Cadangan dan Alutsista jika Situasi Mendesak

Pilkada 2024, TNI Siapkan Personel Cadangan dan Alutsista jika Situasi Mendesak

Nasional
Soal Anggota Dewan Main Judi Online, Johan Budi: Bukan Lagi Sekadar Kode Etik, tapi Sudah Pidana

Soal Anggota Dewan Main Judi Online, Johan Budi: Bukan Lagi Sekadar Kode Etik, tapi Sudah Pidana

Nasional
Belum Ada Pendaftar di Hari Pertama Pendaftaran Capim dan Dewas KPK

Belum Ada Pendaftar di Hari Pertama Pendaftaran Capim dan Dewas KPK

Nasional
Puan Bicara Peluang PDI-P Usung Kader Sendiri di Pilkada Jakarta, Sebut Banyak yang Menonjol

Puan Bicara Peluang PDI-P Usung Kader Sendiri di Pilkada Jakarta, Sebut Banyak yang Menonjol

Nasional
Wasekjen PKB Ingatkan Duet Anies-Sohibul di Jakarta Berisiko 'Deadlock'

Wasekjen PKB Ingatkan Duet Anies-Sohibul di Jakarta Berisiko "Deadlock"

Nasional
Soroti Minimnya Kamar di RSUD Mas Amsyar, Jokowi: Hanya 53, Seharusnya Bisa di Atas 100

Soroti Minimnya Kamar di RSUD Mas Amsyar, Jokowi: Hanya 53, Seharusnya Bisa di Atas 100

Nasional
PKB Belum Tentu Dukung Anies Usai PKS Umumkan Duet dengan Sohibul Iman

PKB Belum Tentu Dukung Anies Usai PKS Umumkan Duet dengan Sohibul Iman

Nasional
Mantan Kabareskrim: Saya Tidak Yakin Judi Online Akan Terberantas

Mantan Kabareskrim: Saya Tidak Yakin Judi Online Akan Terberantas

Nasional
PPATK Ungkap Perputaran Uang Judi 'Online' Anggota Legislatif Capai Ratusan Miliar

PPATK Ungkap Perputaran Uang Judi "Online" Anggota Legislatif Capai Ratusan Miliar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com