JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan meminta fatwa dari Mahkamah Agung terkait izin pembangunan di pulau-pulau reklamasi. Fatwa dibutuhkan karena DPRD DKI Jakarta berkeras menolak mengesahkan dua rancangan peraturan daerah tentang reklamasi di Pantai Utara Jakarta.
Hal itu diutarakan Ahok saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus suap terkait Raperda reklamasi. Ahok menjadi saksi untuk terdakwa mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja dan asistennya Trinanda Prihantoro.
"Kasihan pengembang, pegawai puluhan ribu, ekonomi macet. Padahal dia sudah mulai banyak yang tertarik membeli pada pulau yang sudah jadi. Karena itu, kami tidak ingin investasi ini membuat pengembang bangkrut, kami berusaha mencarikan solusi," ujar Ahok kepada Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/7/2016).
Menurut Ahok, berdasarkan laporan Sekretaris Daerah Saefullah dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, Tuty Kusumawati, DPRD DKI tidak lagi ingin membahas dua Raperda reklamasi.
Dengan tidak disahkannya Raperda, menurut Ahok, pengembang akan mengalami kerugian, karena tidak memiliki dasar untuk mendapatkan izin membangun bangunan di pulau reklamasi.
"Ya sudah, masa harus tunggu 2019 Pak sampai ganti mereka semua (DPRD)? Pengusaha keburu bangkrut sampai 2019, ini perusahaan besar-besar, susah kalau seperti itu. Jadi kami lagi berpikir cari fatwa ke MA," kata Ahok.
(Baca: Ahok Yakin Kepala Bappeda DKI Tidak Terlibat Penurunan Kontribusi Tambahan)
Adapun, fatwa yang dimaksud terutama untuk menggantikan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi DKI Jakarta 2015-2035.
Selain RZWP3K, Raperda lainnya yang belum juga disahkan adalah Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP). Keduanya selalu batal dibahas dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta.
Salah satu alasannya, karena tidak ada kesepakatan soal tambahan kontribusi sebesar 15 persen bagi pengembang. Selama pembahasan, diduga terdapat suap-menyuap yang melibatkan pimpinan perusahaan pengembang dan anggota DPRD DKI Jakarta.