JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Nasrullah menuturkan, maraknya penangkapan oknum peradilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa pemberantasan mafia peradilan harus dimulai dari proses rekrutmen hakim.
Masalah ini telah terjadi belasan tahun dan bukan barang baru. Karena itu, kata Nasrullah, negara harus berpikir 20 tahun ke depan untuk menciptakan hakim-hakim yang bersih.
Rekrutmen hakim dengan seleksi yang ketat diharapkan dapat menghasilkan anak-anak terbaik bangsa.
"Jangan karena keponakan hakim tinggi atau karena anaknya hakim agung, misalnya," kata Nasrullah saat dihubungi, Rabu (25/3/2016).
Menurut dia, dalam proses rekrutmen hakim tersebut diikutsertakan anak-anak terbaik dari kampus-kampus hukum terbaik. Misalnya, 10 besar mahasiswa di sebuah kampus.
Namun, tak hanya melihat prestasi akademis, harus pula ditetapkan standar moral.
Kemudian setelah lulus seleksi, kata Nasrullah, calon-calon hakim tersebut diberi pendidikan. Mulai dari menanamkan jiwa nasionalisme hingga menghilangkan sifar-sifat materialisme mereka.
"Jiwa nasionalisme, beragama sesuai agama yang dianut. Sisi rohaninya jangan kering," kata dia.
Nasrullah menambahkan kunci kerusakan negara adalah pada hati masing-masing individu. Ia pun mencontohkan, selama seorang hakim bersih, pengacara seperti apapun tak akan bisa memengaruhi hakim itu.
Karena itu, diharapkan ke depannya kerja sama antara penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian dengan Perguruan Tinggi juga harus diperkuat.
Di samping itu, Nasrullah menuturkan, negara juga harus menjamin kesejahteraan para hakim dengan lebih baik. Misalnya memastikan gaji mereka pantas dan cukup, termasuk untuk berlibur dan membiayai sekolah anak-anaknya.
"Sehingga pada saat dia menjadi hakim dia sudah merasa bahwa tidak perlu melirik kiri-kanan lagi. Negara telah menanggung," ujar dia.