Menurut Hendardi, percepatan perubahan undang-undang tersebut tidak dibarengi dengan penanganan akar persoalan terorisme berupa ujaran kebencian dan praktik intoleran.
Selama ini, kinerja pemerintah dalam menangani akar terorisme tersebut dinilai belum efisien.
(Baca: Dalam UU Anti-terorisme, Gerakan Separatis Bisa Dianggap sebagai Teroris)
"Kerja pemerintah di bidang itu belum maksimal. Intoleransi adalah akar dari terorisme," kata Hendardi saat memberikan keterangan pers di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Kamis (3/3/2016).
Selama ini dalam menangani praktik intoleransi, pemerintah dinilai cenderung reaktif. Ia mengibaratkan pemerintah seperti petugas pemadam kebakaran, baru bereaksi setelah ada kejadian.
(Baca: Pansus RUU Anti-Terorisme Dibentuk)
Surat Edaran Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian pun belum dimaksimalkan untuk menindak seseorang yang jelas-jelas menebar kebencian di ranah publik. Menurut Hendardi, Kapolri harus bisa mendorong kinerja jajaran kepolisian dalam menangani kasus intoleransi.
Meski begitu, Hendardi juga mengapresiasi revisi undang-undang tersebut. Ia memandang sudah seharusnya kebiijakan itu direvisi menyesuaikan perkembangan situasi terkait terorisme. Revisi undang-undang juga diharapkan tetap menjunjung hak asasi manusia (HAM).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.