Oleh: Azyumardi Azra
JAKARTA, KOMPAS - Dalam pandangan pengamat Barat atau indonesianis, Indonesia adalah miracle, mukjizat atau keajaiban. Banyak juga dari mereka menyebut Indonesia improbable nation, (negara) bangsa yang tidak mungkin (bertahan). Bagi mereka, pluralitas Indonesia membuat tidak mungkin Indonesia dalam persatuan dan integrasi.
Sebut misalnya JS Furnivall, ahli dan administrator asal Inggris yang dalam karyanya, Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944), memperkenalkan konsep masyarakat plural dengan Indonesia jadi salah satu contoh paling mencengangkan. Menurut dia, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri atas dua unsur atau lebih tatanan sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa bercampur dalam satu unit politik.
Bagi Furnivall, keadaan ini memburuk di Hindia Belanda menjelang Perang Dunia II karena pembagian kerja seperti kasta dengan kelompok etnis-agama memainkan peran ekonomi berbeda. "Inilah 'segregasi sosial' yang menghasilkan karakter politik paling tidak terselesaikan, yaitu kurangnya kemauan politik bersama," tulis Furnivall.
Dengan keadaan itu, menurut dia, jika formula politik 'federalis' gagal dirumuskan, pluralitas Indonesia berujung pada anarki mengerikan. Namun, doomed scenario Furnivall, alhamdulillah, tidak jadi kenyataan. Setelah Perang Dunia II, Hindia Belanda menjadi Indonesia merdeka. Kebangkitan sentimen etnoreligius dari waktu ke waktu di negeri ini gagal memecah belah Indonesia.
Furnivall boleh jadi terlalu pesimistis dan agaknya tidak melihat ada sejumlah faktor pemersatu di tengah pluralisme negeri ini. Namun, berbagai masalah yang mengancam persatuan dan integrasi Indonesia juga selalu muncul dari waktu ke waktu.
Indonesia telah 70 tahun menempuh kemerdekaan, melawan banyak kesulitan dan ketidakmungkinan, halangan dan rintangan. Akan tetapi, kecemasan terhadap masa depan Indonesia bersatu di tengah pluralitas tetap bertahan di kalangan pengamat dan banyak warga karena melihat peningkatan problem ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Dalam konteks itu terlihat signifikansi sejumlah poin yang dikemukakan Presiden Joko Widodo dalam pidato tahunan, pidato kenegaraan dalam rangka HUT Ke-70 Proklamasi Kemerdekaan RI, dan pidato penyampaian keterangan pemerintah atas RUU APBN 2016. Presiden, misalnya, menyatakan, kunci mengatasi (berbagai) persoalan itu adalah persatuan. "Sejarah telah mengajarkan kepada kita, kunci untuk mengatasi (berbagai) persoalan tersebut adalah persatuan."
Sayang, Presiden tidak memberikan kerangka konseptual, visioner, dan praksis bagaimana persatuan itu dapat diperkuat. Presiden hampir tidak menyinggung faktor fundamental yang membuat negara-bangsa Indonesia ini tetap bersatu.
Menurut analisis diksi tiga pidato Presiden menjelang peringatan 70 tahun proklamasi kemerdekaan, Presiden menyebut UUD 1945 hanya dua kali, NKRI dan Pancasila masing-masing satu kali, dan sama sekali absen menyebut Bhinneka Tunggal Ika atau kemajemukan dan keragaman Indonesia yang diikat persatuan dan kesatuan (Kompas, 15/8, halaman 5).