Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabulkan Eksepsi KPK, Hakim Tolak Permohonan Praperadilan Eks Direktur Pertamina

Kompas.com - 14/04/2015, 12:05 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Riyadi Sunindyo mengabulkan eksepsi yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi atas gugatan praperadilan yang diajukan mantan Direktur Pengolahan Pertamina, Suroso Atmo Martoyo. Dengan dikabulkannya eksepsi tersebut, maka seluruh gugatan yang diajukan Suroso ditolak.

"Maka, eksepsi termohon harus dikabulkan dan permohonan pemohon harus ditolak," kata Riyadi saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (14/4/2015).

Suroso mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK atas penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan zat tambahan bahan bakar tetraethyl lead (TEL) Pertamina tahun 2004-2005. Ia menganggap KPK tidak berhak melakukan pemeriksaan atas kasus ini karena Pertamina menggunakan hukum privat, bukan hukum publik yang menjadi wewenang lembaga tersebut.

Selain itu, Suroso juga mempersoalkan mengenai penahanannya oleh penyidik KPK, Afief Yuklian Miftach, yang dianggap tidak sah karena telah diberhentikan dari Polri.

Dalam pertimbangannya, Riyadi menyatakan, lembaga praperadilan hanya memiliki wewenang limitatif untuk menangani perkara yang diajukan sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Wewenang lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

"KUHAP sudah dengan jelas membatasi secara limitatif, sehingga harus dibaca secara kontekstual. Prinsip ini menutup wewenag hakim untuk menafsirkan hukum acara," kata Riyadi.

"Hukum acara pidana memiliki fungsi yang sangat penting dan bersifat strict dan correct. Pelaku harus tunduk pada hukum acara dan tidak boleh secara bebas menafsirkan," ujarnya.

Ia menjadikan pendapat ahli hukum pidana yang dihadirkan KPK, Yahya Harahap, sebagai salah satu pertimbangannya. Menurut Yahya yang merupakan mantan Hakim Agung, hakim memang memiliki wewenang memperluas makna pasal yang terdapat di dalam UU. Namun, ada beberapa syarat yang harus menjadi pedoman bagi hakim sebelum memperluasnya, salah satunya harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam pengambilan keputusan itu.

"Ahli menyatakan sejak tahun 2000 praktik korupsi sudah merajalela dan dianggap meresahkan masyarakat. Bahkan Indonesia masuk ke dalam darurat korupsi. Sementara itu, di satu sisi banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan," katanya.

Terkait penahanan, Riyadi berpendapat bahwa alasan subjektivitas yang digunakan KPK untuk menahan pemohon sudah cukup tepat. Kejahatan korupsi tergolong kejahatan luar biasa, oleh sebab itu diperlukan penanganan yang luar biasa pula untuk pemberantasannya.

Adapun mengenai penahanan, Riyadi menyatakan, tidak ada wewenang yang dilanggar penyidik KPK dalam melakukannya. Menurut dia, berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

"Penyidik tidak bisa ditafsirkan harus berasal dari kepolisian. Sehingga penyidik KPK tidak perlu berasal dari Polri," kata dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

PKS Sebut Presidensialisme Hilang jika Jumlah Menteri Diatur UU

PKS Sebut Presidensialisme Hilang jika Jumlah Menteri Diatur UU

Nasional
Dewan Pers Tolak Revisi UU Penyiaran karena Penyelesaian Sengketa Jurnalistik Dialihkan ke KPI

Dewan Pers Tolak Revisi UU Penyiaran karena Penyelesaian Sengketa Jurnalistik Dialihkan ke KPI

Nasional
Anggota Komisi III: Pansel KPK Harus Paham Persoalan Pemberantasan Korupsi

Anggota Komisi III: Pansel KPK Harus Paham Persoalan Pemberantasan Korupsi

Nasional
KSAL: Pembangunan Scorpene 7 Tahun, Indonesia Perlu Kapal Selam Interim

KSAL: Pembangunan Scorpene 7 Tahun, Indonesia Perlu Kapal Selam Interim

Nasional
Pemerintahan Prabowo-Gibran Diminta Utamakan Peningkatan Pendidikan daripada Insfrastuktur

Pemerintahan Prabowo-Gibran Diminta Utamakan Peningkatan Pendidikan daripada Insfrastuktur

Nasional
UU Kementerian Negara Direvisi Usai Prabowo Ingin Tambah Jumlah Menteri, Ketua Baleg: Hanya Kebetulan

UU Kementerian Negara Direvisi Usai Prabowo Ingin Tambah Jumlah Menteri, Ketua Baleg: Hanya Kebetulan

Nasional
Dewan Pers Tolak Revisi UU Penyiaran Karena Melarang Media Investigasi

Dewan Pers Tolak Revisi UU Penyiaran Karena Melarang Media Investigasi

Nasional
Khofifah Mulai Komunikasi dengan PDI-P untuk Maju Pilkada Jatim 2024

Khofifah Mulai Komunikasi dengan PDI-P untuk Maju Pilkada Jatim 2024

Nasional
Gerindra Tegaskan Kabinet Belum Dibahas Sama Sekali: Prabowo Masih Kaji Makan Siang Gratis

Gerindra Tegaskan Kabinet Belum Dibahas Sama Sekali: Prabowo Masih Kaji Makan Siang Gratis

Nasional
Rapat Paripurna DPR: Pemerintahan Baru Harus Miliki Keleluasaan Susun APBN

Rapat Paripurna DPR: Pemerintahan Baru Harus Miliki Keleluasaan Susun APBN

Nasional
Dasco Sebut Rapat Pleno Revisi UU MK yang Dilakukan Diam-diam Sudah Dapat Izin Pimpinan DPR

Dasco Sebut Rapat Pleno Revisi UU MK yang Dilakukan Diam-diam Sudah Dapat Izin Pimpinan DPR

Nasional
Amankan Pria di Konawe yang Dekati Jokowi, Paspampres: Untuk Hindari Hal Tak Diinginkan

Amankan Pria di Konawe yang Dekati Jokowi, Paspampres: Untuk Hindari Hal Tak Diinginkan

Nasional
12.072 Jemaah Haji dari 30 Kloter Tiba di Madinah

12.072 Jemaah Haji dari 30 Kloter Tiba di Madinah

Nasional
Achanul Qosasih Dicecar Kode “Garuda” Terkait Transaksi Rp 40 Miliar di Kasus Pengkondisian BTS 4G

Achanul Qosasih Dicecar Kode “Garuda” Terkait Transaksi Rp 40 Miliar di Kasus Pengkondisian BTS 4G

Nasional
Jemaah Haji Asal Garut Wafat di Masjid Nabawi, Kemenag: Dibadalhajikan

Jemaah Haji Asal Garut Wafat di Masjid Nabawi, Kemenag: Dibadalhajikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com