JAKARTA, KOMPAS.com —
Sebagian besar calon anggota legislatif dari semua partai politik peserta pemilu menumpang popularitas partai. Kontribusi caleg dalam menaikkan elektabilitas parpol masih sangat kurang.

Temuan itu disampaikan CEO dan peneliti Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dari survei Efek Popularitas Calon Legislatif terhadap Elektabilitas Partai Jelang Pemilu 2014, di Jakarta, Selasa (30/7/2013). Survei dilatarbelakangi putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 yang menetapkan sistem suara terbanyak untuk menentukan siapa yang berhak duduk di DPR.

Burhanuddin mengatakan, kontribusi caleg ternyata sangat minimal mendongkrak elektabilitas partai. Dari survei di 42 daerah pemilihan tahun 2009, efek caleg terhadap hasil akhir perolehan suara hanya 18 persen.

Secara umum, kata Burhanuddin, hasil akhir pemilu sangat ditentukan kekuatan partai. Hasil survei tahun 2013 konsisten dengan temuan survei tahun 2009. Calon berkontribusi, tetapi sangat kecil bila dibandingkan kekuatan partai itu sendiri.

”Sebagian besar caleg menumpang popularitas partai. Namun, ada sejumlah kasus menunjukkan calon dapat memengaruhi hasil akhir pemilu,” ujarnya.

Hasil simulasi menunjukkan, suara calon untuk Partai Golkar di dapil Jawa Barat II (dapil Nurul Arifin) hanya 14 persen, sedangkan suara partai mencapai 21 persen. Begitu juga terjadi pada PDI-P. Di dapil Jawa Tengah VII (dapil Ganjar Pranowo), suara calon hanya 12 persen, sedangkan suara partai mencapai 27 persen. Hal itu pun terjadi pada dapil Jateng V (dapil Puan Maharani) yang elektabilitas calonnya 18 persen dan partai mencapai 46 persen.

Berbeda dengan Partai Demokrat. Survei calonnya di dapil Banten III (dapil Wahidin Halim) sebesar 22 persen, sementara elektabilitas partai 12 persen. Untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS), suara calon di dapil DKI III (Adang Daradjatun) mencapai 19 persen, sedangkan suara partai hanya 9 persen.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya mengatakan, ”Survei ini mudah-mudahan bukan pesanan dari partai politik. Sebab, survei ini tentu merugikan caleg yang punya popularitas tinggi.”

Menurut Tantowi, sistem suara terbanyak menguntungkan dirinya, ditambah lagi kepercayaan Partai Golkar menempatkannya pada nomor urut satu. Namun, sistem ini membawa kerugian cukup besar dari sisi kualitas parlemen.

”Itu terlihat dari anggota parlemen hasil Pemilu 2009. Kita lihat saja kinerja DPR sekarang. Saya di komisi yang anggotanya 50 orang, mungkin mereka yang bekerja serius hanya 20 orang. Selebihnya, tidak lebih dari dekorasi. Mereka itu tak lebih dari hasil sistem suara terbanyak itu,” ujar Tantowi.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, survei adalah potret sesaat yang belum tentu sungguh merepresentasikan Pemilu 2014.