KOMPAS.com - Bulan purnama bagi bulan suci Ramadhan 1434 H ini bakal terjadi pada Selasa dinihari 23 Juli 2013 pukul 01:15 WIB. Ini adalah saat fase Bulan, yakni persentase sisi dekat Bulan yang terpapar cahaya Matahari, mencapai nilai maksimumnya. Meski tidak benar-benar 100 %, dalam purnama kali ini hanya 99,8 %, kita di Bumi bakal merasakan sensasi Bulan terlihat bundar penuh.
Dalam 21 jam 48 menit sebelumnya, Bulan juga telah mengalami peristiwa penting lainnya yakni berada di perigee (titik terdekat orbit Bulan terhadap Bumi) sehingga hanya berjarak 358.400 km, terhitung dari pusat Bumi ke pusat Bulan.
Bulan mengalami purnama dan perigee dalam kurang dari 24 jam, namun rentang waktu antara keduanya tergolong besar sehingga kali ini Bulan tidaklah dianggap sebagai supermoon layaknya purnama Juni 2013 lalu.
Mengacu pada Keputusan Menteri Agama dalam sidang isbat yang lalu, maka Bulan purnama ini bakal terjadi pada 14 Ramadhan 1434 H bagi Indonesia. Bagi sebagian kita, hal ini mungkin membuat dahi berkerut sekaligus menjadi momen untuk mempertanyakan hasil sidang isbat. Mengingat, dalam benak kita sudah terkonstruksi pemahaman bahwa Bulan purnama ya selalu bertepatan dengan pertengahan kalender Hijriah.
Dengan satu bulan kalender Hijriah bisa berumur 29 atau 30 hari, maka purnama dianggap selalu bertepatan dengan tanggal 15 kalender Hijriah. Dengan kata lain, Bulan yang sedang menyandang status purnama juga dianggap berperan sebagai penjaga waktu (time-keeping) termasuk dalam kalender Hijriah.
Leluhur kita telah demikian terkagum-kagum dengan Bulan sejak zaman es, seperti ditemukan pada sejumlah temuan arkeologis berbentuk tongkat kayu, tulang rusa dan potongan gading mammoth dari era 27.000 hingga 12.000 tahun silam berdasarkan uji pertanggalan karbon radioaktif. Pada artefak-artefak itu dijumpai takik-takik dan lubang cungkilan sebagai pertanda hari demi hari saat Bulan mencapai fase tertentu dalam siklusnya.
Di daratan Cina, sejak 34 abad silam, siklus fase Bulan telah digunakan sebagai acuan kalender, tepatnya semenjak masa dinasti Shang. Kalender Cina adalah kalender lunisolar, yang menggabungkan siklus fase Bulan dengan pergantian musim (gerak semu tahunan Matahari). Demikian pula halnya di Mesir kuno, generasi terawal sampai dengan 62 abad silam, tatkala mereka menyadari bintang terang Sirius terbit di dekat Matahari setiap 365 hari sekali yang bertepatan dengan awal banjir tahunan Sungai Nil.
Kalender Mesir kuno inilah yang saat ini menitis sebagai kalender Gregorian atau Tarikh Umum, yang lebih kita kenal sebagai kalender Masehi.
Kalender Hijriah menjadi salah satu sistem penanggalan yang memanfaatkan siklus fase Bulan dalam rupa periode sinodis. Meski demikian, kalender ini tidak mengacu peristiwa konjungsi Bulan dan Matahari. Namun, pada fenomena pasca konjungsi yang disebut hilal, terlepas dari belum adanya kesepakatan para pihak tentang hilal. Kalender ini memiliki aturan yang relatif telah mapan, misalnya setahun Hijriah terdiri dari 12 bulan kalender, sementara sebulan kalender terdiri dari 29 atau 30 hari.
Sementara, sehari kalender dimulai sejak terbenamnya Matahari dan diakhiri pada terbenamnya Matahari berikutnya yang berurutan.
Dengan demikian, kalender Hijriah mendasarkan diri pada posisi aktual benda langit dan bukan posisi rata-ratanya seperti yang terjadi dalam kalender Masehi (Tarikh Umum). Dalam konteks inilah muncul persoalan, apakah fase Bulan tertentu, dalam hal ini Bulan purnama, dapat digunakan sebagai acuan penanda waktu?
Terlebih sabda Nabi SAW menekankan keutamaan berpuasa sunat tiga hari di pertengahan bulan kalender yang dikenal sebagai ayyamul bidh (hari-hari putih), yang lantas ditafsirkan sebagi hari ke-13, 14 dan 15 di setiap bulan kalender Hijriah.
Masalahnya, saat-saat Bulan purnama ternyata hampir tak pernah bertepatan dengan pertengahan periode sinodis Bulan. Dalam tahun 1434 H ini, misalnya, kesempatan Bulan purnama bertepatan/hampir bertepatan dengan pertengahan periode sinodis Bulan hanya terjadi dua kali, yakni pada Muharram dan Sya’ban.