JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Advokasi LBH Keadilan Halimah Humayrah Tuanaya mengatakan, pemaknaan Hari Ibu setiap 22 Desember mengalami distorsi. Pasalnya, Hari Ibu lebih tepat disebut Hari Perempuan.
"Hal tersebut mengingat yang diperjuangkan perempuan waktu Kongres Pertama (Sumpah Pemuda 1928) adalah perbaikan kedudukannya umum, bukan kedudukan perempuan secara pribadi-pribadi," kata Tuanaya di Jakarta, Sabtu (22/12/2012).
Menurut Tuanaya, istilah Hari Ibu mengakibatkan peran perempuan terbatas sebagai individu. Seorang ibu diangkat paling penting, bukan peran perempuan sebagai pejuang kepentingan kaumnya.
"Peran perempuan dalam arti yang lebih luas seperti memperjuangkan akses anak perempuan pada pendidikan, hak untuk menikah tanpa paksaan, dan bebas dari poligami. Penggunaan istilah itu juga menitikberatkan perempuan sebagai individu dalam perannya sebagai seorang Ibu," tandasnya.
Tuanaya mengemukakan, publik sudah terlanjur mengenal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Momentum Hari Ibu harus dimaknai sebagai penghormatan perempuan. Solusi alternatif dari hal itu, publik tidak menjadikan Hari Ibu untuk mendistorsi perempuan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.