Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara dari Australia: Eksistensi KPK Harga Mati

Kompas.com - 06/11/2009, 14:35 WIB

BRISBANE, KOMPAS.com - Komunitas mahasiswa Indonesia di Australia menegaskan, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah "harga mati" bagi masa depan bangsa sehingga mereka yang berupaya melumpuhkan agenda pemberantasan korupsi KPK merupakan "musuh bersama rakyat Indonesia".  Sikap komunitas mahasiswa Indonesia di Australia itu terungkap dalam pernyataan sikap pengurus pusat Perhimpunan Pejalar Indonesia di Australia (PPIA) yang diterima ANTARA di Brisbane, Jumat (6/11).  
    
Keprihatinan atas masa depan KPK menyusul terungkapnya skandal rekaman percakapan telepon seluler Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan terkait dengan kasus penetapan tersangka dan penahanan pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Dalam pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum PPIA Miko Kamal bersama Wakil Ketua Umum Ahmad Khoirul Umam dan Sekretaris Umum M.Falikul Isbah, PPIA memandang isi rekaman percakapan adik Bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo itu, telah menohok nurani bangsa.
    
"Pemutaran rekaman percakapan yang memalukan dari Anggodo Widjojo terkait upaya pelemahan institusi KPK yang diduga melibatkan sejumlah oknum penegak hukum di lingkungan Polri dan Kejaksaan telah menohok nurani dan kesadaran bangsa tentang kebobrokan lembaga penegak hukum di Indonesia," kata mereka. Menurut pengurus pusat PPIA, kendati penahanan Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah akhirnya ditangguhkan Polri, rasa ketidakadilan publik kembali terusik setelah tim penyidik Polri membebaskan Anggodo Widjojo 4 November lalu dengan alasan tidak cukupnya alat bukti untuk menjerat dia menjadi tersangka.
    
"Publik menjadi bingung, mengapa yang diduga tidak bersalah  disingkirkan sedangkan yang diduga salah justru dipertahankan. Memang kebenaran materiil di meja pengadilan belum diputuskan, tetapi nuansa penegakan hukum yang diskriminatif itu aromanya justru kian menyengat," kata mereka.
    
Fakta ini tidak hanya mengusik nurani rakyat Indonesia yang ada di Tanah Air tetapi juga memicu keprihatinan mendalam masyarakat Indonesia di luar negeri, termasuk komunitas pelajar dan kaum intelektual Indonesia di Australia, kata pengurus pusat PPIA itu. Bagi PPIA, eksistensi KPK adalah "harga mati" bagi masa depan bangsa sehingga elemen-elemen yang berusaha melumpuhkan dan melakukan pembusukan terhadap agenda pemberantasan korupsi merupakan musuh bersama rakyat Indonesia yang harus disikapi secara tegas dan proporsional.

Minta kewenangan tim diperkuat
    
Kendati Presiden RI telah membentuk Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum yang diketuai Adnan Buyung Nasution, PPIA memandang perlu penguatan kewenangan tim delapan ini guna menjembatani kebuntuan komunikasi penegakan hukum.
    
"Lembaga bentukan Presiden ini hendaknya diberi kewenangan lebih untuk  mengambil alih penyelesaian kasus ini supaya proses penegakan hukum terhindar dari konflik kepentingan baik yang ada di tubuh Polri, Kejaksaan, maupun di KPK itu sendiri," kata mereka.
    
Selain itu, PPIA juga menuntut aparat penegak hukum mempercepat proses penahanan Anggodo Widjojo sebagai aktor kunci rekaman yang "menjadi bukti kriminalisasi pimpinan KPK". Terkait dengan kasus ini, PPIA meminta Polri dan Kejaksaan Agung bersikap transparan dan bertindak tegas terhadap Anggodo Widjojo dan semua orang yang diduga terlibat.
    
"Pelepasan Anggodo Widjojo dari Badan Reserse Kriminal Polri 4 November lalu kembali meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Polri," kata mereka. Untuk memperbaiki citra Polri ke depan, PPIA mendukung "grand strategy Polri 2005-2025" yang berorientasi pada akselerasi transformasi Polri yang pada tahap pertama (2005-2010) Polri menargetkan pembangunan kepercayaan masyarakat terhadap institusinya.
    
"Karena itu, terkuaknya fakta-fakta yang justru semakin menghancurkan citra Polri dan Kejaksaan belakangan ini hendaknya dijadikan momentum strategis bagi pemerintah untuk melakukan reformasi total di tubuh kedua lembaga penegak hukum tersebut," kata mereka.
    
Pembenahan terhadap Kejaksaan dan Kepolisian RI dari intervensi mafia peradilan harus dilakukan dengan cara memperkuat sistem internal kedua lembaga itu dari pusat hingga satuan terkecil di daerah, kata pengurus pusat PPIA.
Pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sempat ditahan Polri karena keduanya dituduh menyalahgunakan wewenang mereka terkait dengan pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap Anggoro, tersangka korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Namun, akhirnya penahanan keduanya ditangguhkan. Tuduhan lainnya adalah keduanya juga mencegah dan mencabut pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap Direktur PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com