PILPRES 2024 hampir pasti akan dimeriahkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Lantas, pesan apa yang bisa kita maknai dari terbentuknya pasangan calon yang ada?
Bagi penulis, makna pesan itu adalah politik kandidasi kita melalui proses saling “bertandang” hingga nantinya saling “bertanding”.
Bertandang merupakan ijtihad politik dalam rangka mencari dan menemukan pasangan yang cocok.
Masing-masing pihak yang berpikir untuk masuk dalam nominasi, biasanya melakukan silaturahmi, saling berkunjung, saling mendatangi, dalam komunikasi politik penjajakan.
Bertanding merupakan ikhtiar politik untuk memenangkan kontestasi. Bertanding adalah ikhtiar politik ketika bertandang telah menyelesaikan misinya.
Dalam rangka menemukan pasangan yang cocok, tentu saja, para kandidat akan saling bertandang. Begitu pun setelah menemukan pasangannya, mereka kemudian masuk dalam arena pertandingan, siap bertanding.
Sebelum menjadi pasangan Anies, Muhaimin atau Cak Imin sudah bertandang ke Prabowo. Saling bertandang Prabowo-Cak Imin bahkan telah terikat dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), namun mereka tidak berjodoh.
Anies, sebelum menjadikan Cak Imin sebagai rekan bertandingnya, dia juga sudah melakukan upaya bertandang ke Mahfud MD. Anies sempat ingin menjadikan Mahfud sebagai wakilnya, tapi gagal.
Kini, Anies berpasangan dengan Cak Imin, sedangkan Mahfud berpasangan dengan Ganjar, sebagai calon presidennya.
Tidak hanya itu, Mahfud mengaku pernah berada dalam situasi “bertandang” dengan Prabowo. Konsepi “bertandang” ini juga pernah diupayakan untuk memasangkan antara Ganjar dan Gibran, pun antara Ganjar dengan Prabowo.
Bertandang dan bertanding merupakan proses normal dan normatif. Tidak hanya terjadi sekarang, atau tidak hanya dilakukan oleh para kandidat saat ini, namun telah dilakukan oleh kandidat-kandidat politik sebelumnya, dalam kontestasi-kontestasi Pilpres sebelumnya.
Bertandang dan bertanding merupakan keniscayaan dalam praktik demokrasi prosedural kita karena beberapa alasan.
Mungkin saja secara regulasi ada partai yang bisa melakukan itu, tapi risikonya akan sangat besar, terutama setelah Pilpres.