JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte, menilai upaya politikus mendeklarasikan seragam bagi para simpatisannya jelang pemilu, termasuk Ganjar Pranowo baru-baru ini, belum dapat menandingi apa yang dilakukan Joko Widodo dengan kemeja kotak-kotaknya jelang Pilgub 2012 dan Pilpres 2014.
Philips menilai, apa yang terjadi dengan baju kotak-kotak pendukung Jokowi adalah fenomena yang sifatnya organik dan otentik dari para simpatisan.
"Sekarang kan lebih ke gimmick-nya," kata dia ketika ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2023).
Baca juga: Seragam Garis Hitam Putih ala Ganjar dan Deja Vu Baju Kotak-kotak
"Persoalan kita, dalam setiap strategi kampanye dan lain-lain, otentisitas itu penting. Poinnya Pak Jokowi bukan kotak-kotak atau garis-garis, tapi otentisitasnya," lanjut dia.
Baju kotak-kotak Jokowi dinilai bukan hanya digerakkan dari akar rumput, tetapi juga merepresentasikan pakaian yang sehari-hari digunakan orang kebanyakan, sehingga otentisitas itu terasa kental.
Philips menjelaskan, sejak keberhasilan baju kotak-kotak ala pendukung Jokowi, banyak kekuatan politik yang berupaya menempuh langkah serupa, walau tak selalu otentik.
Simbol-simbol semacam ini dianggap memang cukup diperlukan di tengah pemilihan yang berlangsung serentak, untuk menggaet simpati pemilih dengan lebih mudah.
Baca juga: Sering Pakai Kemeja Garis Hitam Putih, Ganjar: Gambaran Sikap Politik Saya, Tak Pernah Abu-abu
Sebab, jelang pemilu, pemilih akan diperebutkan oleh banyak kandidat, baik caleg maupun capres, yang membawa visi-misi berbeda.
Isu yang berkembang jelang pemilu juga amat beragam. Karakteristik pemilih di Indonesia dianggap belum dapat menilai kandidat berdasarkan isu.
Di samping itu, pemilih memiliki keterbatasan untuk untuk mengenali dan menggali latar belakang tiap kandidat.
"Di Indonesia, misalnya, hari ini, kita tidak terlalu sadar, harga naik atau turun, masyarakat ada yang merasa dan tidak. Ada banyak isu buat masyarakat, ada yang ngomong harga, banjir, penyakit, ngomong ini, itu, dan lain-lain," ungkap Philips.
"Akhirnya, pemilih itu (bingung) dari semua isu penandanya buat mereka yang penting apa, sehingga larinya ke yang sifatnya simbol," papar Philips.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.