Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dentuman Meriam dan Petasan, Meriahnya Sambut Ramadhan pada Masa Kolonial

Kompas.com - 14/05/2019, 03:03 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ramadhan disambut antusias oleh umat Muslim di Indonesia. Banyak yang melakukan persiapan khusus sebelum menyambut bulan suci, seperti nyadran atau nyekar ke makam mendiang keluarga hingga padusan untuk menyucikan diri.

Bulan suci ini dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan nilai spiritualitas dan kualitas diri seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Penentuan awal Ramadhan biasanya menggunakan metode hisab dan rukyatul hilal. Setelah awal Ramadhan ditentukan, umat Muslim melakukan shalat Tarawih dan puasa pertama keesokan harinya.

Antusiasme ini juga terlihat pada era penjajahan di masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saat itu, setelah Ramadhan ditentukan oleh Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur maka terdapat perayaan membunyikan mercon atau meriam sebagai pertanda senang menyambut bulan penuh berkah ini.

Dentuman keras diperlihatkan. Masyarakat membunyikan petasan, meriam, dan sejenisnya. Tradisi ini tak hanya ada di Jawa saja, melainkan juga di Sumatera.

"Di Istana Maimun Sumatera Utara, terdengar tiga kali tembakan meriam yang menandai awal bulan puasa," Kata dosen IAIN Surakarta, Martina Safitry dalam acara diskusi sejarah pada Sabtu (11/5/2019) sore di Rumah Budaya Kratonan, Surakarta.

Baca juga: Mengenang Ramadhan di Era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda..

Rumah Budaya KratonanKOMPAS.com/Aswab Nanda Prattama Rumah Budaya Kratonan
Namun, tradisi ini tak serta-merta didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Ada sebagian orang yang menilai bahwa kegiatan ini tak berfaedah dan membuang-buang uang.

"Tradisi ini dianggap bid’ah karena pada zaman Nabi Muhammad SAW tak ada," ucap Martina.

Tak hanya dari lapisan masyarakat bumiputra, ternyata pemerintah kolonial juga melarang tradisi ini. Pihak Hindia Belanda membatasi penggunaan petasan dan meriam ketika masa-masa awal Ramadhan dan menjelang Lebaran.

Perdebatan mengenai pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Berita Nahdlatul Oelama (BNO) pada 7 November 1940 yang menyatakan bahwa pertentangan mengenai pelaksanaan tradisi bukan hanya dari pihak penguasa, melainkan dari pihak masyarakat juga.

Baca juga: Meriahkan Takbiran, Ratusan Meriam Karbit Siap di Sungai Kapuas

Tetap melaksanakan

Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah (x) dalam perayaan lebaran di halaman Masjid Agung Bandung Tahun 1928. Nampak di belakang terdapat gambar asap yang dipercaya telah menghidupkan meriam menyambut LebaranKoleksi Martina Safitry Dosen IAIN Surakarta Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah (x) dalam perayaan lebaran di halaman Masjid Agung Bandung Tahun 1928. Nampak di belakang terdapat gambar asap yang dipercaya telah menghidupkan meriam menyambut Lebaran
Walaupun terdapat pembatasan dan pelarangan dari pemerintah kolonial, ternyata masyarakat bumiputra masih melaksanakan tradisi tersebut.

Mereka bersikukuh untuk melakukan tradisi tersebut karena dianggap sarana menyemarakkan awal Ramadhan maupun menyambut Lebaran.

Cara nekat inilah sebagai sindiran pihak bumiputra terhadap larangan penjajah.

"Itu merupakan syiar Islam, karena bisa memperlihatkan bahwa Islam bisa sangat meriah terhadap hari rayanya," ujar Martina.

Masyarakat juga melakukan protes kepada pihak Hindia-Belanda. Selain menyindir dengan tetap melaksanakan, mereka juga melakukan serangkaian protes agar umat Islam diperbolehkan membunyikan petasan dan meriam.

Langkah ini terbukti jitu, pemerintah kolonial akhirnya memberikan kebebasan terhadap umat Muslim untuk melakukan tradisi ini. Bahkan Hindia Belanda mengeluarkan besluit atau peraturan tersendiri mengenai tata cara membunyikan meriam dan petasan.

Sampai hari ini, masih ada segelintir orang di Indonesia yang masih melakukan tradisi ini. Pada beberapa daerah masih membunyikan meriam sebagai upaya untuk menyemarakkan tradisi. Bahkan di Kalimantan, tradisi membunyikan meriam dijadikan festival menjelang Lebaran.

Selain itu, ada juga masyarakat atau kelompok yang membuat petasannya sendiri. Mereka membeli bubuk petasan dan menggulungnya menggunakan kertas bekas putih pada sudut-sudut jalan ketika awal Ramadhan dan menjelang Lebaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com