KOMPAS.com - Ramadhan disambut antusias oleh umat Muslim di Indonesia. Banyak yang melakukan persiapan khusus sebelum menyambut bulan suci, seperti nyadran atau nyekar ke makam mendiang keluarga hingga padusan untuk menyucikan diri.
Bulan suci ini dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan nilai spiritualitas dan kualitas diri seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Penentuan awal Ramadhan biasanya menggunakan metode hisab dan rukyatul hilal. Setelah awal Ramadhan ditentukan, umat Muslim melakukan shalat Tarawih dan puasa pertama keesokan harinya.
Antusiasme ini juga terlihat pada era penjajahan di masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saat itu, setelah Ramadhan ditentukan oleh Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur maka terdapat perayaan membunyikan mercon atau meriam sebagai pertanda senang menyambut bulan penuh berkah ini.
Dentuman keras diperlihatkan. Masyarakat membunyikan petasan, meriam, dan sejenisnya. Tradisi ini tak hanya ada di Jawa saja, melainkan juga di Sumatera.
"Di Istana Maimun Sumatera Utara, terdengar tiga kali tembakan meriam yang menandai awal bulan puasa," Kata dosen IAIN Surakarta, Martina Safitry dalam acara diskusi sejarah pada Sabtu (11/5/2019) sore di Rumah Budaya Kratonan, Surakarta.
Baca juga: Mengenang Ramadhan di Era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda..
"Tradisi ini dianggap bid’ah karena pada zaman Nabi Muhammad SAW tak ada," ucap Martina.
Tak hanya dari lapisan masyarakat bumiputra, ternyata pemerintah kolonial juga melarang tradisi ini. Pihak Hindia Belanda membatasi penggunaan petasan dan meriam ketika masa-masa awal Ramadhan dan menjelang Lebaran.
Perdebatan mengenai pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Berita Nahdlatul Oelama (BNO) pada 7 November 1940 yang menyatakan bahwa pertentangan mengenai pelaksanaan tradisi bukan hanya dari pihak penguasa, melainkan dari pihak masyarakat juga.
Baca juga: Meriahkan Takbiran, Ratusan Meriam Karbit Siap di Sungai Kapuas
Mereka bersikukuh untuk melakukan tradisi tersebut karena dianggap sarana menyemarakkan awal Ramadhan maupun menyambut Lebaran.
Cara nekat inilah sebagai sindiran pihak bumiputra terhadap larangan penjajah.
"Itu merupakan syiar Islam, karena bisa memperlihatkan bahwa Islam bisa sangat meriah terhadap hari rayanya," ujar Martina.
Masyarakat juga melakukan protes kepada pihak Hindia-Belanda. Selain menyindir dengan tetap melaksanakan, mereka juga melakukan serangkaian protes agar umat Islam diperbolehkan membunyikan petasan dan meriam.
Langkah ini terbukti jitu, pemerintah kolonial akhirnya memberikan kebebasan terhadap umat Muslim untuk melakukan tradisi ini. Bahkan Hindia Belanda mengeluarkan besluit atau peraturan tersendiri mengenai tata cara membunyikan meriam dan petasan.
Sampai hari ini, masih ada segelintir orang di Indonesia yang masih melakukan tradisi ini. Pada beberapa daerah masih membunyikan meriam sebagai upaya untuk menyemarakkan tradisi. Bahkan di Kalimantan, tradisi membunyikan meriam dijadikan festival menjelang Lebaran.
Selain itu, ada juga masyarakat atau kelompok yang membuat petasannya sendiri. Mereka membeli bubuk petasan dan menggulungnya menggunakan kertas bekas putih pada sudut-sudut jalan ketika awal Ramadhan dan menjelang Lebaran.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.