JAKARTA, KOMPAS.com - Tugas berat aparat kejaksaan dalam melakukan penuntutan dinilai belum disertai perlindungan yang maksimal. Akibatnya, jaksa sering menjadi korban penyerangan secara fisik oleh pihak yang beperkara.
Koordinator Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan, kondisi tersebut dikhawatirkan membuat profesionalitas jaksa menjadi berkurang. Misalnya, jaksa enggan menangani perkara yang dianggap berisiko.
"Jangan harap penegak hukum berani menyikat kasus-kasus yang berisiko terhadap diri dan keluarganya. Hanya yang punya mental baja saja yang mau," ujar Fachrizal saat menjadi narasumber dalam diskusi Perlindungan Profesi Penegak Hukum di Cikini, Jakarta, Minggu (3/6/2018).
Baca juga: Komisi Kejaksaan Usul Revisi UU untuk Perlindungan Jaksa dan Keluarga
Sebagai contoh, menurut Fachrizal, aparatur kejaksaan akan menolak menangani kasus yang melibatkan mafia illegal logging, atau pejabat tinggi. Belum lagi, jika kasus tersebut terjadi di daerah pedalaman yang jauh dari perlindungan.
Menurut Fachrizal, kondisi itu dipersulit juga dengan anggaran kejaksaan yang kecil. Dibandingkan Polri dan Mahkamah Agung, menurut Fachrizal, anggaran kejaksaan yang paling kecil.
Padahal, aparatur kejaksaan tersebar di semua wilayah di Indonesia. Selain itu, kejaksaan tidak hanya melakukan penuntutan, tapi juga penyelidikan dan penyidikan.
"Anggaran penanganan perkara saja terbatas, bagaimana anggaran untuk melindungi diri?" kata Fachrizal.