Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memilih Jalan Terjal

Kompas.com - 19/05/2017, 21:17 WIB

Oleh: Imam B Prasodjo

Dalam bahasa Inggris ada idiom yang sering diucapkan orang: ”learning the hard way”. Ekspresi ini merujuk pada pilihan pembelajaran melalui jalan terjal, atau cara yang sulit dan tak menyenangkan. Mungkin ekspresi ini cocok untuk menggambarkan langkah-langkah perjalanan bangsa kita, terutama akhir-akhir ini.

Banyak cara mudah dan aman dalam pengelolaan bangsa yang rumusannya sudah tersedia dan disepakati, tetapi banyak dari kita yang justru memilih cara sulit, cari jalan alternatif penuh risiko.

Ibaratnya, kita seperti orang yang membandel tetap ingin bereksperimen ”mengganggu” binatang buas walaupun sudah berkali-kali diperingatkan tentang potensi bahaya yang dapat mengancam. Atau seperti orang yang tetap nekat mencoba memegang bara api walaupun sudah diberi tahu bahwa bara api itu dapat melumatkan telapak tangan siapa saja yang memegangnya.

Dalam kehidupan berbangsa, kita juga sudah mengetahui bahwa bangsa ini terdiri atas ramuan yang begitu beragam, baik suku, ras, agama, maupun golongan (SARA). Kita pun sudah berkali-kali mendapat peringatan bahwa penggunaan isu-isu SARA secara negatif dalam pergaulan sehari-hari, apalagi dalam berpolitik, akan sangat berisiko bagi keutuhan bangsa.

Eksploitasi sentimen primordial akan dengan mudah memicu terjadinya konflik horizontal. Ikatan emosional yang merekatkan suku, ras, agama, dan golongan dalam masyarakat kita sering tumpang tindih, menciptakan bentuk identitas dan loyalitas berlapis (multiple identities and loyalties) yang jika masuk dalam arena konflik akan mudah menjadi bahan bakar bagi konflik-konflik terbuka yang bersifat brutal.

Tak belajar dari sejarah

Dalam kondisi masyarakat seperti ini, situasi sosial-politik menjadi sangat rentan, terutama ketika sentimen-sentimen SARA digunakan dalam memobilisasi massa yang berwujud dalam kerumunan berseri. Kondisi menjadi semakin rentan apabila kerumunan ini berubah menjadi kerumunan marah (angry crowd) akibat adanya agitasi yang dilakukan terus-menerus. Apabila beberapa kerumunan marah yang saling bertentangan terbentuk dan benturan terbuka telah terjadi, akan berkobar api konflik yang dengan mudah akan menjalar ke mana-mana membawa luapan kemarahan atas nama suku, ras, ataupun agama.

Beragam konflik horizontal yang pernah membara di Ambon, Poso, Ternate, Sampit, dan banyak daerah lain agaknya tak menjadi bahan pelajaran berharga bagi bangsa ini. Kita seperti tak ingat bahwa sendi-sendi kehidupan berbangsa pernah terkoyak dan membawa derita bagi ratusan ribu penduduk akibat terluka dan terbunuh, atau yang selamat menjadi pengungsi karena terusir dari kampung halamannya sendiri.

Banyak dari kita seperti lupa, betapa mahal harga yang harus kita bayar ketika social trust hancur. Luka dan kepedihan yang dialami ratusan ribu orang tak berdosa seperti tak berarti apa-apa; tak menjadi pelajaran berharga, tak menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam berinteraksi di hari-hari ke depan. Akibatnya, bangsa ini seperti hidup dalam situasi rentan karena kedamaian dan keharmonisan selalu dalam posisi terancam.

Apa sebenarnya yang menjadi penyebab menyusutnya naluri kemanusiaan dan rasa kebangsaan ini? Apakah ini karena nafsu politik yang membabi-buta di sebagian elite negeri ini sehingga tega mengorbankan rakyat menjadi tameng perebutan kekuasaan? Apakah keadaan ini terjadi karena tumbuhnya semangat keagamaan yang ”overdosis” pada sebagian kelompok di negeri ini? Ataukah ini terjadi karena meningkatnya kecemburuan sosial akibat semakin melebarnya ketimpangan sosial-ekonomi?

Banyak pertanyaan yang perlu dijawab untuk memahami gejolak yang terjadi.

Namun, apa pun penyebabnya, beragam ketegangan yang mencapai titik kulminasi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 yang baru lalu harus menjadi pelajaran bersama. Setelah luapan emosi dan pertarungan kepentingan mereda, ada baiknya berbagai komponen masyarakat mengambil napas sejenak, menekan tombol ”pause”, dengan kepala dingin merenungi semua kejadian yang baru lalu. Kita perlu sadari bahwa kita baru saja menempuh jalan terjal yang penuh risiko, dan apabila kita tak berhati-hati dapat mengantarkan bangsa kita ke tepi jurang penderitaan.

Tak satu pun dari kita yang menginginkan negeri kita porak poranda seperti yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, Libya, Irak, dan Suriah. Namun, apa yang tengah kita lalui dapat mengarah ke sana.

Apa boleh buat, interaksi sosial politik yang penuh ketegangan ini telanjur terjadi. Saat ini kita hanya bisa mencoba menahan diri sambil mencoba mengambil hikmah dari semua yang telah terjadi. Ketegangan yang berpotensi konflik terbuka ini harus menjadi bahan pembelajaran untuk membangun kesadaran baru dalam merajut hubungan sosial politik dalam waktu dekat ini. Perlu ada refleksi diri. Perlu ada evaluasi serius apabila kita tak ingin terjerumus dalam kesulitan yang parah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sidang SYL, KPK Hadirkan Sejumlah Pegawai Kementan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Sejumlah Pegawai Kementan Jadi Saksi

Nasional
Kemenag Imbau Jemaah Haji Lansia Manfaatkan Rukhsah Saat Beribadah

Kemenag Imbau Jemaah Haji Lansia Manfaatkan Rukhsah Saat Beribadah

Nasional
Kemenag Akan Gelar Sidang Isbat Lebaran Idul Adha 7 Juni 2024

Kemenag Akan Gelar Sidang Isbat Lebaran Idul Adha 7 Juni 2024

Nasional
Romlah Melawan Katarak demi Sepotong Baju untuk Sang Cucu

Romlah Melawan Katarak demi Sepotong Baju untuk Sang Cucu

Nasional
“Deal” Politik Nasdem dan PKB Bakal Jadi Penentu Dukungan untuk Anies Maju pada Pilkada Jakarta 2024

“Deal” Politik Nasdem dan PKB Bakal Jadi Penentu Dukungan untuk Anies Maju pada Pilkada Jakarta 2024

Nasional
Bendum dan Wabendum Partai Nasdem Jadi Saksi di Sidang SYL Hari Ini

Bendum dan Wabendum Partai Nasdem Jadi Saksi di Sidang SYL Hari Ini

Nasional
Tak Khawatirkan Gempa di Senabang Aceh, Risma: Posisinya di Laut...

Tak Khawatirkan Gempa di Senabang Aceh, Risma: Posisinya di Laut...

Nasional
PKS Minta Uang Program Tapera Tidak Dipakai untuk Proyek Risiko Tinggi seperti IKN

PKS Minta Uang Program Tapera Tidak Dipakai untuk Proyek Risiko Tinggi seperti IKN

Nasional
DPR Akan Panggil Pemerintah Terkait Polemik Pemotongan Gaji untuk Tapera

DPR Akan Panggil Pemerintah Terkait Polemik Pemotongan Gaji untuk Tapera

Nasional
Diminta Perbanyak Renovasi Rumah Lansia, Risma: Mohon Maaf, Anggaran Kami Terbatas

Diminta Perbanyak Renovasi Rumah Lansia, Risma: Mohon Maaf, Anggaran Kami Terbatas

Nasional
Hari Ini, Ahmad Sahroni Jadi Saksi di Sidang SYL

Hari Ini, Ahmad Sahroni Jadi Saksi di Sidang SYL

Nasional
Partai Buruh Tolak Gaji Karyawan Dipotong untuk Tapera, Singgung Cicilan Rumah Subsidi

Partai Buruh Tolak Gaji Karyawan Dipotong untuk Tapera, Singgung Cicilan Rumah Subsidi

Nasional
Istri, Anak, dan Cucu SYL Kembali Jadi Saksi dalam Sidang Hari Ini

Istri, Anak, dan Cucu SYL Kembali Jadi Saksi dalam Sidang Hari Ini

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anak SYL Disentil Hakim | Jampidsus Dilaporkan ke KPK Atas Dugaan Pemufakatan Jahat

[POPULER NASIONAL] Anak SYL Disentil Hakim | Jampidsus Dilaporkan ke KPK Atas Dugaan Pemufakatan Jahat

Nasional
Tanggal 2 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com