JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan para mantan hakim MK mengusulkan, agar ada pertemuan antara pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung, untuk membahas mekanisme perekrutan hakim MK.
Hal tersebut disampaikan Jimly seusai pertemuan antara para mantan hakim MK dan hakim MK, di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat 6, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017).
Dalam pertemuan tersebut, turut hadir mantan hakim konstitusi Abdul Mukti, Maruarar Siahaan, Achmad Roestandi, Laica Marzuki, Achmad Sodiki, dan Ahmad Fadlil.
"Kami mengusulkan supaya Presiden, Ketua MK, Ketua MA, dan Ketua DPR bisa mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan bagaimana memperbaiki sistem rekruitmen hakim MK ke depan. Sekaligus untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan, yang terjadi selama ini. Bukan hanya mengenai prosedurnya, tapi persyaratan dan lain sebagainya, karena hakim MK satu-satunya pejabat yang dalam UUD disebut sebagai negarawan, maka kita harus menjaganya dengan sebaiknya," ujar Jimly.
Jimly menyampaikan, Undang-Undang Dasar 1945 belum mengatur secara rinci mekanisme rekrutmen hakim MK.
Dari ketiga unsur lembaga yang memiliki kewenangan mengajukan anggota MK, baru DPR saja yang sudah punya mekanisme perekrutan hakim MK.
Oleh karena itu, lanjut Jimly, perlu ada pertemuan dari ketiga lembaga tersebut.
"Sampai sekarang belum ada Perpres (Peraturan Presiden), Perma (Peraturan MA). Baru ada peraturan tatib (Tata Tertib) DPR," kata Jimly.
Mengenai kasus dugaan suap yang menjerat hakim MK Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Jimly, hal itu merupakan masalah etik personal, yakni mengenai pembocoran putusan MK.
Modus pembocoran informasi ini, sama dengan yang dilakukan oleh Akil Mochtar.
Saat itu, Akil membocorkan hasil putusan MK terkait sengketa pilkada ke sejumlah pihak.
"Ini modusnya (Patrialis) seperti yang pernah terjadi sebelumnya, (Akil), pembocoran rahasia putusan yang belum final tapi sudah dibocorkan. Padahal belum final. Dalam arti masih ada permusyawaratan lagi. jadi memang masih belum selesai. Kita tunggu saja nanti ada pembacaan putusan tanggal 7 Februari," ujarnya.
Patrialis ditangkap dalam operasi tangkap tangan, Rabu (25/1/2017).
Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap sebesar sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015.
Pengujian tersebut terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.