Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Belum Berpihak pada Petani

Kompas.com - 25/09/2016, 06:00 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, kebijakan pemerintah terkait kedaulatan dan peningkatan kemandirian pangan saat ini justru banyak yang tidak berpihak pada petani kecil.

Menurut Henry, seluruh kebijakan yang dibuat tidak berakar pada masalah mendasar petani Indonesia yang sebagian besar tidak memiliki tanah produksi.

Sementara sebagian tanah dikuasai perusahaan besar yang melakukan alih fungsi ke non pertanian, seperti perusahaan perkebunan sawit, karet, kehutanan dan perusahaan properti.

"Masalah mendasar petani Indonesia adalah tidak punya tanah. Tanah kita sejak zaman kolonial telah dikuasai oleh perusahaan besar. Perkebunan kelapa sawit, karet kehutanan dan properti. Upaya koreksi ini tidak dilakukan," ujar Henry saat memberikan keterangan pers peringatan Hari Tani Nasional 2016 di kantor sekretariat nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (24/9/2016).

Henry menilai yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini malah mendistorsi permasalahan mendasar tersebut dengan peningkatan produktivitas.

Penurunan produktivitas, kata Henry, terjadi karena petani tidak memiliki tanah sendiri. Oleh karena itu distribusi pupuk, benih dan alat penunjang produksi seperti traktor bukan solusi yang tepat.

"Produktivitas menurun karena memang petani tidak punya tanah maka solusinya bukan bagi-bagi pupuk dan alat penunjang produksi seperti traktor," kata Henry.

Di sisi lain, Pemerintah juga membuat kebijakan yang dinilai akan mematikan produksi pangan petani dalam negeri.

Kebijakan impor beras dan impor daging masih terus diberlakukan. Sedangkan menurut Henry, selama ini tidak ada kebijakan yang melindungi hasil pertanian lokal.

Hal senada juga diutarakan wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Dia menuturkan, konversi lahan pertanian ke non-pertanian semakin luas.

Mengacu pada sensus pertanian Badan Pusat Statkstik, dalam 10 tahun konversi lahan dari pertanian ke non pertanian mencapai 129 ribu hektar per tahun di seluruh wilayah Indonesia.

Kalaupun penggunaannya tetap di sektor pertanian, kata Dewo, lahan tersebut dikuasai oleh perusahaan skala besar.

KPA mencatat terdapat 2.400 badan usaha pertanian skala besar. Artinya peningkatan produktivitas pangan justru diarahkan melalui pembangunan korporasi pertanian skala besar, bukan ke rumah tangga para petani skala kecil.

"Saya melihat bukan kedaulatan dan kemandirian pangan yang akan dibangun, namun berupaya meningkatkan produktivitas pangan dengan membangun industri pangan berskala besar," kata Dewi.

"Selama masih ada kebijakan impor pangan, monopoli penyediaan benih dan pupuk oleh korporasi berarti memang tidak ada keseriusan untuk membangun basis ekonomi kerakyatan sebagai produsen pangan utama," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com