JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama menyatakan, konsolidasi demokrasi semestinya tak dimaknai sebatas efektivitas pengambilan keputusan di parlemen.
Hal itu disampaikannya untuk menanggapi usulan partai politik (parpol) di parlemen yang hendak menaikkan ambang batas parlemen dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Hampir semua parpol beralasan pengurangan jumlah partai bertujuan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di Indonesia.
"Padahal, itu hanya satu sisi dari konsolidasi demokrasi, selain efektivitas di parlemen konsolidasi demokrasi sejatinya juga bicara soal penjaminan hak pemilih. Artinya, suara yang sudah mereka berikan juga harus dihargai dengan memilih sistem pemilu yang tepat," kata Heroik dalam sebuah diskusi di Bilangan Jakarta Selatan, Minggu (24/7/2016).
Dia menyatakan, semakin terkonsolidasi semestinya demokrasi di sebuah negara justru semakin berpihak kepada pemilik suara. Artinya, para pemilih tak perlu direpotkan dengan pilihan partai yang banyak, tetapi tak berbeda secara ideologi.
Hal senada disampaikan oleh Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafiz. Dia menyatakan, sejatinya pemilih tak menginginkan pilihan partai yang terlalu banyak.
"Jadi selama ini yang membuat demokrasi tak juga terkonsolidasi bukan pemilihnya, tetapi elite-elite politiknya, yang membuat jumlah partai semakin banyak kan bukan pemilihnya," kata Masykur dalam kesempatan yang sama.
"Jadi kalau ada pemilih yang memberikan suaranya untuk partai baru atau partai kecil, jangan lantas dibiarkan hangus dengan peningkatan ambang batas parlemen yang ekstrem, sistem pemilu juga harus menjamin hak pemilih sebagai bentuk konsolidasi demokrasi di aspek pemilu," lanjut dia.