Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kartini "Mendobrak" Tata Krama yang Kaku di Keluarganya

Kompas.com - 21/04/2016, 07:02 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini benci dengan segala kekakuan. Namun, prinsipnya akan kebebasan, bertentangan dengan kodrat dirinya sebagai perempuan yang hidup di lingkungan bangsawan Jawa, di mana tata krama harus dijunjung tinggi.

Kartini yang merupakan anak kelima dari 11 bersaudara itu pun menjadi penggerak dalam mendobrak kekakuan di keluarganya.

Hal tersebut ia tuliskan dalam suratnya kepada sahabat penanya, Estella Helena Zeehandelaar, sebagaimana tertulis dalam buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).

"Di antara kami, mulai dari saya, kami tinggalkan semua adat sopan-santun (yang kaku). Perasaan kami sendiri yang harus mengatakan kepada kami sejauh mana cita-cita ingin bebas kami boleh bergerak," tulis Kartini dalam suratnya.

Kartini memberi gambaran kepada Stella betapa ketatnya tata krama di keluarganya. Misalnya, adik-adik Kartini tidak boleh berjalan mendahuluinya, kecuali merangkak, merendah di hadapannya.

Kemudian, jika Kartini melintas saat adiknya duduk di kursi, adiknya itu harus turun dari kursi dan duduk di bawah dengan kepala tertunduk sampai Kartini jauh melewatinya.

Tak hanya itu, untuk sekadar memanggil "aku" dan "engkau" pun dilarang. Itu pun setelah menyampaikan kalimat kepada Kartini, maka adik-adiknya harus memberikan sikap hormat, yakni dengan menangkupkan kedua telapak tangan dan diangkat ke bawah hidung.

Begitu pun jika ada makanan enak di atas meja, yang usianya lebih muda tidak boleh menyentuhnya sebelum yang lebih tua mengambilnya. Kartini menulis:

"Kepala saya merupakan yang terhormat. Adalah larangan keras untuk mereka sentuh (kepala saya), kecuali dengan izin khusus saya dan setelah beberapa kali menyembah."

"Aduh, kamu pasti menggigil kalau kamu jatuh di lingkungan keluarga bumiputera yang terkemuka semacam itu."

Kartini ingin menyudahi tata krama yang menurutnya tidak sesuai dengan keinginan hatinya tersebut, karena dianggap berlebihan. Ia tidak ingin adik-adiknya merasa terkekang oleh
adat.

Maka, Kartini pun membiarkan saudara di bawahnya bergaul bebas dengan dirinya tanpa harus dibatasi tetek bengek norma yang membuatnya tampak "tinggi".

Setelah itu, kata Kartini, tidak ada lagi kekakuan antara dirinya dengan adik-adiknya. Mereka sesukanya menyapa dengan sebutan "kamu" dan "aku" saat berbicara kepada Kartini. Mereka tidak lagi menahan tawa hingga mulut terbuka lebar.

Mulanya, banyak orang yang mencela kebebasan mereka. Orang-orang menyebut Kartini dan adik-adiknya seperti orang tak berpendidikan.

Bahkan, Kartini disebut "kuda gila" karena cara berjalannya yang melompat-lompat, tidak anggun sebagaimana perempuan Jawa pada umumnya.

"Tetapi setelah orang melihat bagaimana mesra serta menyenangkan perhubungan di antara kami, setelah ibu etiket melarikan diri dari semangat kebebasan kami, inginlah orang akan persatuan kami yang selaras, yang terutama terjalin di antara kami bertiga," ujar Kartini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Nasional
KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Nasional
Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Nasional
Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasional
Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana Dengan Kaesang di Pilkada Jakarta?

Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana Dengan Kaesang di Pilkada Jakarta?

Nasional
[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

Nasional
[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

Nasional
Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Nasional
SYL Ngaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

SYL Ngaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

Nasional
PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

Nasional
Apresiasi Perwira Inovatif, Annual Pertamina Awards Ke-14 Resmi Dibuka

Apresiasi Perwira Inovatif, Annual Pertamina Awards Ke-14 Resmi Dibuka

Nasional
Bertanya ke Saksi, SYL Tegaskan Bagikan Sembako hingga Sewa Pesawat untuk Kepentingan Masyarakat

Bertanya ke Saksi, SYL Tegaskan Bagikan Sembako hingga Sewa Pesawat untuk Kepentingan Masyarakat

Nasional
162.961 Jemaah Haji Sudah Tiba di Arab Saudi, 36 Wafat

162.961 Jemaah Haji Sudah Tiba di Arab Saudi, 36 Wafat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com