Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yusril: Pemerintah Harusnya Beri Subsidi BBM, Bukan Memungut dari Rakyat

Kompas.com - 26/12/2015, 08:57 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengkritik langkah pemerintah yang membebankan pungutan Rp 200 per liter untuk premium dan Rp 300 per liter untuk solar kepada rakyat.

Menurut Yusril, pembebanan harga BBM ini tidak tepat walau dengan dalih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan. 

"Tidak pada tempatnya pemerintah memungut sesuatu dari rakyat konsumen BBM. Dari zaman ke zaman, pemerintah selalu memberikan subsidi BBM kepada rakyat, bukan sebaliknya, membebankan rakyat dengan pungutan untuk mengisi pundi-pundi pemerintah," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/12/2015).

Sebelumnya, pemerintah memang menurunkan harga premium dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter, dan solar dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950 per liter. Harga baru itu mulai berlaku pada 5 Januari mendatang.

(Baca: Soal Pungutan Dana Ketahanan Energi, Pemerintah Dianggap Ngawur)

Namun, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya ada di level Rp 6.950 per liter, menyusul turunnya harga minyak dunia. Pemerintah kemudian menambah Rp 200 dari nilai keekonomian itu untuk dibebankan kepada rakyat.

Sementara itu, untuk solar, nilai keekonomian saat ini berkisar Rp 5.650 per liter. Namun, pemerintah menambah biaya Rp 300.

Tambahan biaya ini merupakan dana untuk program energi terbarukan yang sedang dikembangkan pemerintah.

Dasar hukum

Yusril pun mempertanyakan dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk mengambil pungutan ini dari rakyat.

Menurut dia, pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan Pasal 30 UU Energi untuk memungut dana masyarakat dari penjualan BBM.

Pasal tersebut menunjukkan bahwa dana untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan berasal dari APBN, APBD dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus dianggarkan. Penganggaran tersebut dengan sendirinya harus didasari persetujuan DPR dan DPRD.

"Tidak ada norma apa pun dalam Pasal 30 UU Energi tersebut yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM," ucap mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan ini.

(Baca: Harga Premium Turun Jadi Rp 7.150, Solar Jadi Rp 5.950)

Yusril menambahkan, Pasal 30 UU Energi memang berisi aturan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan harus diatur dengan peraturan pemerintah. Namun, PP tersebut hingga kini belum ada. 

Oleh karena itu, Menteri ESDM tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut jumlah pungutan, mekanisme penggunaan, maupun pertanggungjawabannya.

"Kebiasaan mengumumkan suatu kebijakan tanpa dasar hukum ini seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah karena bertentangan dengan asas negara hukum yang dianut oleh UUD 1945," ucap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com