Oleh: Khalisah Khalid
JAKARTA, KOMPAS - Pada akhir 2014, Presiden Jokowi blusukan ke Sungai Tohor, Riau. Setelah itu, Presiden menyatakan komitmennya untuk segera melakukan langkah-langkah mengatasi kebakaran hutan dan lahan sehingga pada 2015 Indonesia terbebas dari bencana asap.
Faktanya tidak demikian. Dalam beberapa bulan ini asap kembali melanda setidaknya 66 kabupaten/kota di lima provinsi yang selalu langganan bencana asap, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, dengan titik api mencapai 20.253 per Februari 2015. Fakta lain menunjukkan, tak ada perubahan signifikan dari peristiwa kebakaran tahun lalu dengan tahun ini, sebagian sebaran kebakaran berada di wilayah konsesi.
Jika pada 2014 ditemukan indikasi titik api terdapat di kawasan hutan yang dibebani hak hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA), demikian juga yang terjadi pada tahun ini. Data yang diolah Walhi Sumsel dari berbagai sumber menunjukkan, pada 2015, 383 titik api di hutan tanaman industri dan 426 titik di konsesi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan.
Sebaran titik api kebakaran hutan dan lahan yang sebagian berada di wilayah konsesi perusahaan tentu bukan tidak diketahui pemerintah. Namun, dalam kurun yang panjang, upaya penegakan hukum tidak pernah dilakukan, hingga bencana asap terus berulang selama 18 tahun terakhir. Jika pun ada pelaku pembakaran yang dijerat hukum, mereka adalah petani dan masyarakat adat yang dituduh perambah hutan. Kalaupun ada dari perusahaan, yang tertinggi terkena hukum berada di level operator, bukan pengambil kebijakan perusahaan. Padahal, ini sudah merupakan bentuk kejahatan korporasi, dengan kategori extra ordinary crime.
Tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencoba menegakkan hukum bagi pembakar lahan dengan melakukan segel terhadap perusahaan yang membakar lahan. Apresiasi tentu diberikan, tetapi sejauh mana ”segelisasi” memberi efek jera kepada perusahaan, dengan peristiwa yang berulang, tanpa review dan cabut izin.
Momentum yang terlewat
Pada Mei 2015, Presiden menyetujui perpanjangan moratorium penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015. Disebutkan bahwa inpres ini bertujuan menyelesaikan berbagai upaya penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut dalam kerangka menurunkan emisi dari deforestasi serta degradasi hutan.
Kembali pada komitmen Presiden, Inpres Moratorium, dan upaya yang dilakukan organisasi masyarakat sipil yang mendesak memperkuat kebijakan moratorium, dapat dikatakan darurat asap yang terjadi tahun ini mengindikasikan kebijakan yang dibuat memang tidak menjawab persoalan yang dihadapi.Kita tahu, persoalan yang dihadapi adalah sengkarut dari tata kelola hutan dan lahan gambut. Hal itu akibat rezim perizinan di masa lalu yang berdampak terhadap bencana ekologis, seperti bencana kabut asap. Sementara kebijakan yang dibuat justru tidak menyentuh perizinan lama atau yang sedang berjalan, yang menyalahi UU, dan ketentuan lainnya. Jadi, bukan hanya menunda pemberian izin baru.