JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Suharso Monoarfa, membantah pernyataan yang menyebut bahwa Presiden Joko Widodo menyepelekan permohonan grasi oleh para terpidana mati kasus narkotika. Menurut dia, keputusan Presiden tersebut telah dipertimbangkan secara matang.
"Proses hukumnya kan sudah final, sudah sampai ke Mahkamah Agung. Tidak mungkin Presiden gegabah mengambil putusan soal grasi. Dia kepala negara, dia ingin rakyatnya terlindungi," ujar Suharso saat ditemui di Jakarta, Jumat (13/3/2015).
Suharso mengatakan, penolakan grasi merupakan bentuk ketegasan pemerintah atas dampak yang ditimbulkan dari bahaya narkotika. Ia mengatakan, Indonesia saat ini terancam kehilangan sebagian besar generasi muda akibat dampak peredaran narkoba yang begitu besar.
Menurut dia, ada hampir 15 juta masyarakat yang dikategorikan sulit untuk disembuhkan dari ketergantungan akan obat-obat terlarang. Ia menambahkan, jika dihitung, sekitar 50 orang meninggal per harinya akibat pemakaian narkotika. Belum lagi, menurut dia, bisnis narkoba yang nilainya triliunan rupiah secara tidak langsung menguras kekayaan negara.
Mengenai hukuman mati yang dianggap tidak efektif menimbulkan efek jera, Suharso beranggapan bahwa pandangan tersebut hanyalah dalih yang digunakan untuk membatalkan eksekusi mati. Menurut dia, negara-negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, hingga saat ini tetap menjalankan hukuman mati, bahkan cenderung tidak mengompromikan kasus-kasus narkoba.
"Kita ini negara dengan penduduk 250 juta dan tersebar di seluruh pelosok, penduduk negara lain cuma berapa sih? Saya bukan mau melecehkan, tetapi masalah narkoba itu dampaknya ke kita sangat besar," kata Suharso.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.