"Jumlah belum ideal. Sama sekali tidak ideal," kata As'ad saat berbincang dengan Kompas.com di Jakarta, Kamis (6/11/2014) malam.
As'ad membandingkan BIN dengan badan intelijen milik Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA). CIA memiliki sekitar 6.000 personel, yang secara khusus menangani persoalan luar negeri. Sementara BIN dengan jumlah personel terbatas harus menangani persoalan dalam dan luar negeri.
"Tapi kan ada dari organik BIN sendiri, ada dari TNI, polisi, sipil. Idealnya perlu ada penambahan personel paling tidak 3.000 orang. CIA itu 6.000 orang," katanya.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama itu menambahkan, seorang personel BIN dituntut memiliki keahlian di berbagai bidang yang diharapkan dapat membantu kinerja mereka dalam melakukan operasi intelijen, seperti kontra-intelijen, kontra-teroris dan kontra-separatis. Kemampuan seorang agen itu tentu tidak bisa didapat dengan cara mudah. Diperlukan berbagai persiapan dan pelatihan khusus sebelum akhirnya mereka dapat terjun ke lapangan.
Sebelumnya, As'ad telah dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Merdeka pada Jumat (24/10/2014). Saat itu ia mengaku dipanggil untuk membahas sejumlah hal, mulai urusan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri hingga Kementerian Pendidikan.
"Saat itu juga Presiden mengajak diskusi tentang keamanan dan ketertiban serta dunia intelijen negara," kata pria bergelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu.
As'ad pernah menjabat sebagai Wakil Kepala BIN selama 9,5 tahun pada era Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.