JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), menilai tindakan penegakan hukum oleh kepolisian, tidak dapat dijadikan hal utama dalam penanganan masalah di daerah-daerah rawan konflik. Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala mengatakan, penanganan oleh kepolisian di daerah-daerah rawan konflik, seharusnya lebih mengedepankan upaya-upaya mediasi, ketimbang penegakan hukum.
"Di daerah, perlu digunakan cara-cara mediasi. Penegakan hukum adalah hal yang terakhir, bahkan tidak perlu dilaksanakan," ujar Adrianus, dalam sebuah diskusi yang bertema Polri dan Pola Penegakan Hukum di Wilayah Konflik, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2014).
Menurut Adrianus, tindakan penegakan hukum yang represif, di beberapa daerah rawan konflik, justru dapat membuat suasana konflik menjadi semakin parah. Tindakan penegakan hukum, menurut Adrianus, bisa saja menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat.
Selain itu, dalam menangani persoalan di daerah rawan konflik, kepolisian sangat beresiko menjadi sasaran kebencian masyarakat. Menurut Adrianus, tujuan polisi yang semula ingin menjaga ketertiban dan keamanan, bisa berbalik dan bahkan membahayakan anggota kepolisian.
"Di wilayah rawan konflik, jumlah penyerangan terhadap polisi, seperti pembakaran kantor polisi, sangat tinggi," kata Adrianus.
Untuk itu, Adrianus mengatakan, seharusnya kepolisian yang bertugas di daerah-daerah rawan konflik dibekali kemampuan untuk melakukan mediasi. Beberapa metode penyelesaian konflik, sebut Adrianus, bisa dilakukan dengan mediasi, musyawarah dengan tokoh adat dan agama, proses negosiasi, maupun diplomasi.
"Polisi harus kreatif, pengendalian dengan metode harmonisasi, semua elemen duduk dalam satu diskusi," kata Adrianus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.