JAKARTA, KOMPAS.com — Pertikaian sengit sekelompok elite purnawirawan TNI menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 telah mempermalukan institusi TNI dan memperkuat kekhawatiran di kalangan masyarakat akan netralitas dan soliditas lembaga TNI jika kepada prajuritnya diberikan hak pilih di Pemilu 2019.
Pelaksanaan Pemilu 2019 memang masih jauh atau lima tahun lagi, dan sekarang ini pun rakyat Indonesia baru mempersiapkan diri untuk mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 9 Juli. Namun, ulah purnawirawan itu menjelaskan bahwa institusi TNI sebenarnya belum siap jika prajuritnya boleh menggunakan hak pilih.
Pensiunan berpangkat tinggi saja bisa bertikai terbuka, apalagi prajurit yang berpangkat rendah.
Pertikaian purnawirawan TNI muncul tak lepas dari pro kontra di kalangan mereka atas pencalonan Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai capres. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan presiden dan wakil presiden tak mempersoalkan majunya Prabowo, baik di Pemilu 2009 maupun Pemilu 2014.
Hubungan purnawirawan di kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla memanas saat masalah pelanggaran HAM diungkit kembali, yang kemudian disusul bocornya dokumen yang berisi rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait pemberhentian Prabowo Subianto dari dinas militer aktif.
Keadaan bertambah panas setelah mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto juga memberikan keterangan seputar rekomendasi DKP dan kasus penculikan aktivis pro-demokrasi. Wiranto adalah atasan Prabowo saat mantan Danjen Kopassus itu diajukan ke DKP.
Meski purnawirawan TNI yang menjadi pendukungnya gerah atas pernyataan Wiranto itu, Prabowo memilih tidak mengomentarinya. Sikap Prabowo ini berkontribusi terhadap penurunan ketegangan antarpurnawirawan yang membela kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla.
Meski demikian, bolehkah purnawirawan TNI mendukung pasangan capres-cawapres? Tentu dibolehkan karena statusnya kini adalah warga sipil yang mempunyai hak politik praktis.
Yang masalah adalah ketika dukungan itu, yang semestinya disampaikan secara elegan dan terhormat, kini malah dipertontonkan secara vulgar dengan kata-kata tak pantas. Purnawirawan tak sungkan saling "menyerang" secara terbuka, dan mereka seolah lupa bahwa tingkah polah mereka itu berdampak buruk terhadap integritas dan soliditas TNI.
Purnawirawan memang tak lagi memiliki struktur komando kepada TNI sehingga tak bisa memengaruhinya secara langsung. Namun, mereka memiliki hubungan kedekatan emosional dengan para prajurit aktif. Secara struktur purnawirawan tak bisa memengaruhi TNI secara langsung karena tak memiliki hierarki komando, tetapi pengaruh kedekatan emosional terhadap prajurif aktif tentu tak bisa diabaikan.
Dengan kata lain, para purnawirawan itu masih memiliki mantan anak buah yang kini bertugas aktif di berbagai posisi di tubuh TNI, baik pada unsur staf atau komando. Hubungan itu tentu tidak terputus meski si pimpinan sudah pensiun dari TNI.
Di kubu kedua pasangan capres-cawapres itu, terdapat sejumlah pensiunan jenderal yang memiliki karier dan kemampuan cemerlang. Purnawirawan jenderal yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta di antaranya adalah Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso, mantan Kasad Jenderal (Purn) George Toisutta. Sementara itu, pensiunan di kubu pasangan Jokowi-JK di antaranya adalah Jenderal (Purn) Hendropriyono, Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan, mantan Kasad Jenderal (Purn) Soebagyo Hadisiswoyo, dan mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi.
Mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto juga menjadi pendukung pasangan Jokowi-Kalla karena partai politik besutannya, yakni Partai Hanura, masuk koalisi parpol pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut dua itu.
Menurut mantan Kepala Staf Teritorial Panglima TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo, purnawirawan TNI tak memiliki organisasi politik sehingga mereka memiliki hak untuk berkumpul dan mendukung salah satu pasangan capres dan cawapres.
"Yang masalah adalah dukungan itu membabi buta dan menggunakan bahasa tak baik," katanya.