JAKARTA, KOMPAS.com
- Surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar diduga diberi hadiah uang dan janji pemberian uang untuk memenangi perkara sengketa pemilihan kepala daerah di 15 daerah. KPK pun kini memburu pihak-pihak yang diduga memberikan hadiah uang atau janji pemberian uang kepada Akil.

Dalam surat dakwaan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) terhadap Akil, dia diduga menerima uang suap dalam penanganan perkara sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di 15 daerah, di ataranya Kota Palembang (Rp 19,86 miliar), Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Lebak (Rp 1 miliar), Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar Amerika Serikat), Lampung Selatan (Rp 500 juta), Pulau Morotai (Rp 2,9 miliar), Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), Buton (Rp 1 miliar), dan Provinsi Banten (Rp 7,5 miliar).

Selain itu, ada juga sengketa pilkada di sejumlah daerah di Papua, seperti Kota Jayapura, Kabupaten Nduga, Merauke, Asmat, dan Boven Digoel. Untuk uang suap agar memenangkan sengketa pilkada di beberapa daerah di Papua tersebut, Akil diduga menerima dari mantan Wakil Gubernur Papua Alex Hasegem sebanyak
Rp 125 juta.

Tak hanya uang, Akil juga diduga memberikan janji untuk memenangkan sengketa Pilkada Jawa Timur. Dalam Pilkada Jatim, tadinya Akil juga dijanjikan akan mendapatkan uang sebesar Rp 10 miliar. Namun, pemberian tersebut urung dilakukan karena pada saat yang bersamaan Akil keburu ditangkap KPK karena menerima suap dalam pengurusan Pilkada Empat Lawang.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Jumat (21/2), mengatakan, semua pihak yang terlibat dalam dugaan penyuapan terhadap Akil akan diusut KPK. Namun, pengusutan pihak-pihak yang diduga menyuap Akil ini akan dilakukan bertahap, sembari mengikuti fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan terhadap Akil di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

”Bertahap sambil mencermati perkembangan di persidangan yang berpeluang membongkar aktor-aktor kumuh lainnya, termasuk politisi di daerah dan pusat yang terlibat,” kata Busyro.

Kecuali Pilkada Gunung Mas dan Lebak yang para penyuapnya langsung ditangkap saat dalam proses penyuapan atau beberapa saat setelah terjadi penyuapan, pada sengketa pilkada lainnya, pihak-pihak yang diduga memberi suap kepada Akil disebutkan dengan jelas dalam surat dakwaan. Dalam sengketa Pilkada Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan, misalnya, bupati petahana Budi Antoni Al Jufri yang mengajukan gugatan sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena hasil pemungutan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat menetapkan pasangan calon Joncik Muhammad dan Ali Halimi sebagai pemenang, diduga menyuap Akil melalui Muhtar Ependy. Muhtar merupakan orang dekat dan kepercayaan dalam mengelola sejumlah uang Akil.

Budi melalui istrinya, Suzanna, menyerahkan uang Rp 10 miliar kepada Muhtar. Uang itu lalu dititipkan Muhtar kepada Wakil Pimpinan BPD Kalimantan Barat Cabang Jakarta Iwan Sutaryadi. Budi melalui istrinya kembali menyerahkan uang 500.000 dollar AS kepada Muhtar yang dititipkan kepada Iwan. Selanjutnya Muhtar menyerahkan uang tunai sebesar Rp 5 miliar dan 500.000 dollar AS kepada Akil di rumah dinasnya. Sisa Rp 5 miliar disetorkan ke tabungan pribadi Muhtar atas persetujuan Akil.

Setelah terjadi penyerahan uang itu, pada 31 Juli 2013 MK memutus perkara permohonan keberatan Pilkada Empat Lawang, antara lain dengan membatalkan hasil rekapitulasi suara di KPU setempat dan menetapkan Budi bersama pasangannya, Syahril Hanafiah, sebagai peraih suara terbanyak.

Hal yang sama terjadi dalam sengketa Pilkada Kota Palembang. KPU Kota Palembang memutuskan pasangan Sarimuda dan Nelly Rasdania sebagai peraih suara terbanyak. Namun, perolehan suara mereka hanya berselisih delapan suara dengan pasangan Romi Herton dan Harno Joyo yang meraup 316.915 suara. Romi pun mengajukan permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang ke MK. MK membentuk panel hakim konstitusi untuk memeriksa permohonan keberatan tersebut dengan susunan, Akil sebagai ketua merangkap anggota, Maria Farida Indrati dan Anwar Usman masing-masing sebagai anggota.

Dalam dakwaan KPK disebutkan, Akil menghubungi orang Muhtar agar Romi menyiapkan sejumlah uang agar permohonannya dikabulkan. Lalu pada 16 Mei 2013, Romi melalui istrinya, Masitoh, menyerahkan uang Rp 12 miliar dan Rp 3 miliar dalam bentuk dollar AS kepada Akil melalui Muhtar. Tanggal 20 Mei 2013 putusan MK membatalkan penghitungan suara KPU Kota Palembang dan menetapkan perolehan suara yang benar adalah pasangan Romi-Harno memperoleh 316.919 suara, dan pasangan Sarimuda- Nelly meraih 316.896 suara.

Menurut Busyro, apabila Akil di persidangan terbukti menerima sejumlah uang suap sebagaimana didakwakan, sudah menjadi kewajiban KPK untuk mengusut pihak-pihak yang diduga menjadi penyuapnya.