"Itu (kevakuman hukum) disebabkan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal undang-undang Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (23/1/2014).
Hal ini karena pengajuan permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Yusril yang dalam kasus berbeda mengajukan pula uji materi atas UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, mengatakan, dalam gugatannya dia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Adapun Pasal 22E UUD 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Menurut Yusril, jika MK menafsirkan maksud Pasal 6A Ayat (2) dengan parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum pileg, maka tak perlu lagi ada undang-undang untuk melaksanakannya.
"Kalau MK tafsirkan Pasal 22E Ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya. Maka, penyatuan pileg dan pilpres dapat dilaksanakan pada 2014 ini juga," papar Yusril.
Pemilu serentak
Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/1/2014), mengabulkan sebagian uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak. Namun, putusan itu dinyatakan berlaku untuk Pemilu Presiden 2019.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014). Permohonan yang dikabulkan adalah untuk uji materi atas Pasal (3) Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 UU 42 Tahun 2008.
Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold).
Mahkamah menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014 agar tak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014.
Langkah membatasi akibat hukum dari putusan ini, menurut majelis, juga sudah memiliki preseden alias putusan serupa di masa lalu. Karenanya, majelis menegaskan putusan ini baru berlaku segera setelah seluruh rangkaian tahapan Pemilu 2014 rampung.
Meskipun lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.