KOMPAS.com
 — Juni 1903, Gregory M Luce untuk pertama kalinya membuka pintu sebuah gedung bank berlantai dua di sudut Jalan Main and Mill di Lucedale, Mississippi, Amerika Serikat. Luce menamai bank miliknya Bank Century.

Walau perekonomian pascaperang saudara tak menentu, Luce dipercaya warga sehingga Bank Century meraih sukses. Kepercayaan memang segalanya di perbankan. Seperti namanya, Bank Century berusia lebih dari seratus tahun.

Meskipun sama-sama menyandang nama Century, nasib Bank Century di Indonesia kelam. Tepat sembilan tahun lalu, Senin, 6 Desember 2004, merger Bank Century disahkan Menteri Hukum dan HAM. Jangankan mencapai usia seratus tahun, belum sepuluh tahun, Bank Century telah memicu gempa ekonomi dan politik.

Rabu (4/12/2013) kemarin, dalam rapat Tim Pengawas Bank Century DPR yang dipimpin Pramono Anung Wibowo, Wakil Ketua DPR, diputuskan pemanggilan Wakil Presiden Boediono. ”(Keputusan diambil) musyawarah untuk mufakat,” kata Pramono, politisi PDI-P, berulang kali.

Fraksi PDI-P, Rabu dua minggu lalu, juga merupakan fraksi pertama yang mengajukan usulan pemanggilan Boediono. Baru kemudian pemanggilan diusulkan anggota Timwas Century, Bambang Soesatyo dari Golkar dan Ahmad Yani dari PPP.

Keterangan Boediono dibutuhkan terkait pernyataannya dalam keterangan persnya seusai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Boediono sempat menyebutkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga mengurus soal dana talangan.

Rabu minggu lalu, dalam sidang Timwas Century, Romli Atmasasmita memperlihatkan Pasal 2 Ayat 4 dari UU LPS. Disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 4 itu, ”LPS bertanggung jawab kepada Presiden”.

Surat pemanggilan ibaratnya belum diketik oleh DPR, juru bicara Wapres buru-buru menyatakan Boediono tidak akan hadir. DPR takkan tinggal diam karena inilah tahun politik. Terlebih, ada ”senjata” berupa Pasal 72 UU No 27/ 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD berbentuk pemanggilan paksa dan penyanderaan.

”Senjata” DPR itu tak dapat dianggap remeh. Jika diabaikan, mungkin justru memicu kegaduhan politik lebih besar. Suhu politik bisa memanas. Stabilitas politik harus jadi pertimbangan utama agar jangan sampai konflik berkepanjangan merugikan bangsa dan negara. Jangan sampai pula muncul ”penumpang gelap” di tengah ketegangan pemerintah dan parlemen.

Kegaduhan dan ketegangan boleh jadi dapat diredam jika mampu dibuktikan tidak adanya kerugian negara. Hal mana dapat dicapai dengan kesuksesan penjualan Bank Mutiara. Idealnya, Bank Mutiara dijual tahun ini meski menurut UU LPS dapat dilakukan tahun depan.

Walau demikian, penjualan Bank Mutiara bukan tanpa risiko. Jika dilepas dengan harga mahal, dapatlah dibuktikan Bank Mutiara bukan sekadar ”batu kali”. Namun, bagaimana jika harga jual lebih rendah dari yang berani dibayangkan siapa pun? (HARYO DAMARDONO)