Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Tak Ingin Lagi "Pilih Kucing dalam Karung" ke Senayan

Kompas.com - 02/09/2013, 14:14 WIB

Oleh: BI Purwantari

Pengalaman publik menghirup kebebasan memilih wakilnya di parlemen tidak juga mendongkrak simpati bagi politisi Senayan. Publik menilai mereka yang pernah menjadi anggota DPR atau DPRD tidak terlalu layak untuk dipilih kembali menduduki kursi parlemen.

Hasil jajak pendapat Kompas di 13 kota dua pekan lalu memperlihatkan publik cenderung menolak tiga jenis profesi untuk menduduki kursi legislatif. Jenis profesi yang paling tidak diinginkan responden untuk masuk ke parlemen adalah sosok yang mengandalkan popularitas semata. Enam dari sepuluh responden menolak memilih sosok populer seperti selebritas untuk menduduki kursi legislatif.

Profesi lain yang tidak akan dipilih responden adalah mereka yang pernah menjadi anggota legislatif (56,5 persen) dan mereka yang berprofesi sebagai pengusaha (52,9 persen). Sementara itu, pendapat publik terbelah ketika harus memilih calon anggota legislatif (caleg) yang pernah menjabat di pemerintahan.

Terdapat 47,9 persen responden jajak pendapat yang menyatakan bersedia memilih caleg yang pernah menduduki kursi pemerintahan, mulai dari pejabat di tingkat desa hingga menteri. Namun, 45,4 persen lainnya justru menolak, tidak akan memilih mereka yang pernah bekerja di pemerintahan, baik birokrasi pemerintahan maupun lembaga seperti kejaksaan dan kehakiman.

Fenomena ini bisa dibaca dengan konteks sosial politik anggota parlemen sepanjang rezim pemilihan umum secara langsung. Berbeda dengan harapan publik, dalam rentang 10 tahun terakhir, wakil rakyat belum menunjukkan kinerja berkualitas seperti diinginkan publik. Alih-alih, mayoritas anggota dewan disinyalir lebih sibuk memenuhi kepentingan partai dan kelompok sendiri. Melalui hasil jajak pendapat sejak tahun 2005, terlihat citra kelembagaan ataupun anggota DPR tidak pernah beranjak positif.

Komposisi caleg

KOMPAS Menimbang Wajah Baru Calon Legislatif

Pertanyaan yang muncul adalah siapa dan dari latar belakang manakah para anggota dewan tersebut? Apakah mereka memang sosok yang buruk sehingga sering kali menuai penilaian negatif? Sebanyak 6.556 data caleg yang dikumpulkan Litbang Kompas memperlihatkan profil sosiologis para calon wakil rakyat periode mendatang hampir serupa dengan yang menjabat saat ini.

Dari sisi jenis kelamin, misalnya, komposisi laki-laki dan perempuan calon wakil rakyat di dua periode tersebut tidak jauh berbeda. Proporsi perempuan caleg pun telah memenuhi kuota 30 persen seperti diamanatkan undang-undang. Setali tiga uang dengan aspek usia para caleg yang dalam dua periode didominasi oleh mereka yang ada dalam rentang usia 31-50 tahun.

Pendidikan merupakan aspek yang diperhatikan publik. Realitasnya, dalam dua periode, calon wakil rakyat pun telah menggenggam level pendidikan tinggi. Lebih dari separuh caleg telah mencapai tingkat sarjana dan bahkan terdapat penambahan proporsi caleg di level magister ataupun doktoral. Publik menginginkan wakil rakyat mereka memiliki dasar edukasi yang baik. Dalam jajak pendapat, enam dari sepuluh responden menyatakan akan memilih sosok caleg yang berpendidikan tinggi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Suasana sidang paripurna DPR pada pukul 13:20:56 WIB saat membahas agenda Program Legislasi Nasional 2013 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/12/2012). DPR menetapkan 70 Rancangan Undang-Undang dalam program prioritas legislasi nasional tahun 2013.

Lantas, apa saja pekerjaan wakil rakyat tersebut sebelum duduk di parlemen? Pada periode 2009-2014, kursi parlemen lebih banyak diduduki oleh mereka yang sebelumnya berkiprah di bidang bisnis swasta dibandingkan dengan politisi. Saat ini pun, komposisi itu tidak berubah, kaum bisnis swasta tetap mendominasi bursa caleg 2014 meski proporsinya berkurang.

Jubah lama

Komposisi yang ada memperlihatkan belum ada perubahan profil sosiologis para calon anggota dewan dalam rentang waktu 10 tahun. Kualitas anggota dewan di masa depan agaknya bergantung pada dua hal: sisi caleg dan partai politik yang mengusungnya.

Penilaian negatif yang terus muncul dari publik terhadap wakil mereka di parlemen bersumber pada kualitas politis anggota dewan. Belum lama ini Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis temuan terkait jumlah kasus dan terdakwa di pengadilan tindak pidana korupsi tiga tahun terakhir. Dari total 756 orang terdakwa, jumlah terbanyak (181 orang) adalah anggota DPR/DPRD. Terbanyak berikutnya adalah pegawai pemerintah setingkat provinsi (161 orang), kaum swasta dan bisnis (128 orang), staf pemerintah kabupaten (93 orang), dan mantan kepala daerah (45 orang).

Dari data itu, sudah cukup memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan berarti dalam kualitas wakil rakyat. Fungsi dan tugas utama memperjuangkan aspirasi rakyat berakhir dengan penggerusan uang rakyat. Jika melihat komposisi para terdakwa, komposisi caleg 2014-2019 didominasi oleh tiga kelompok tersebut: politisi, kaum bisnis, dan mantan pejabat pemerintah. Jika latar belakang profesi diibaratkan jubah orang, nama-nama baru yang kemungkinan muncul bertarung pada Pemilu 2014 tetap akan memakai jubah lama.

Namun, bagaimanapun, tetap ada peluang perubahan asalkan pemilih memiliki pengetahuan cukup untuk menyeleksi calon wakil rakyat. Untuk itu, publik menyatakan, diperlukan penyebaran tentang rekam jejak caleg yang akan bertarung pada Pemilu 2014. Gagasan itu disuarakan oleh 79,8 persen responden pada pekan lalu. Tanpa penyebaran rekam jejak tersebut, pemilih tetap akan seperti memilih kucing dalam karung. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com