Jakarta, Kompas -
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Suhartoyo itu digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, disesaki pengunjung dari berbagai kalangan, termasuk polisi. Djoko didampingi penasihat hukum, di antaranya Juniver Girsang dan Hotma Sitompoel.
Jaksa Kemas Abdul Roni mendakwa Djoko selaku Kepala Korps Lalu Lintas Polri telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Saat itu Djoko menjadi Kuasa Pengguna Anggaran Pengadaan Driving Simulator Uji Klinik Pengemudi Roda Dua (R2) dan Pengadaan Driving Simulator Uji Klinik Pengemudi Roda Empat (R4).
Proyek simulator berkendara tersebut bersumber pada APBN tahun anggaran 2011 dan telah memperkaya Djoko hingga Rp 32 miliar dengan total kerugian negara Rp 144,9 miliar. Terdakwa dianggap telah menggunakan kewenangannya untuk memperlancar proyek pengadaan itu.
Salah satu perintah terdakwa adalah agar menjadikan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) milik Budi Susanto dimenangkan dalam lelang. Untuk memuluskan PT CMMA, Budi Susanto atas sepengetahuan Teddy Rusmawan (Ketua Panitia Pengadaan) dan Sukotjo Sastronegoro Bambang (Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia), pada Januari 2011 menyiapkan perusahaan-perusahaan pendamping agar kemenangan PT CMMA tidak mencurigakan.
Djoko didakwa bersama-sama Didik Purnomo, Teddy Rusmawan, Budi Susanto, dan Sukotjo melakukan tindak pidana korupsi. Mereka yang diuntungkan adalah Didik Purnomo sebesar Rp 50 juta, Budi Susanto Rp 93 miliar, Sukotjo Rp 3,9 miliar, serta memperkaya pihak-pihak lain seperti Primkoppol Mabes Polri Rp 15 miliar, Wahyu Indra Rp 500 juta, Gusti Ketut G Rp 50 juta, Darsian Rp 50 juta, dan Warsono Sugantoro Rp 20 juta.
Djoko juga dihadang UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Ia didakwa bersama-sama dengan Erick Maliangkay, Lam Anton Ramli, Mudjiharjo, Sudiyono, Djoko Waskito, Hari Ichlas, dan Eddy Budi Susanto, sekitar tahun 2010 sampai 2012 dianggap terlibat dalam perbuatan pencucian uang.
Pencucian uang yang didakwakan berdasarkan kepemilikan tanah di Jakarta, Yogyakarta, Bali, Surakarta, juga kendaraan. Untuk menyamarkan hartanya, Djoko memanfaatkan ketiga istri (Suratmi, Mahdiana, dan Dipta Anindita) serta anggota keluarganya dalam akta kepemilikan.