Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hati-Hati, Pengamatan Hakim Bisa Jadi Alat Bukti

Kompas.com - 20/03/2013, 19:52 WIB
Amir Sodikin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com- Ini kabar tak mengenakkan bagi terdakwa. Bagi para terdakwa, jika Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nanti bisa disetujui, harus benar-benar hati-hati agar tidak berbohong dalam persidangan.

Soalnya, dalam rancangan tersebut, jika hakim dengan pengamatannya menganggap terdakwa berbohong, maka sudah bertambah satu alat buktinya yang pasti akan memberatkan terdakwa.

Selama ini, para terdakwa seolah berlindung di balik haknya sebagai terdakwa untuk membela diri dengan berbagai cara, salah satunya sering berbohong asalkan tak ada alat bukti yang bertentangan dengan kebohongannya.

Banyak kasus, hakim-hakim yang menggunakan kacamata hukum positif semata, gagal membuktikan dakwaan penuntut umum gara-gara alat buktinya dirasa kurang.

Dalan rangancangan KUHAP, pengamatan hakim terhadap terdakwa bisa menjadi alat bukti yang sah dan melengkapi alat bukti lainnya. Jika KUHAP yang sekarang ada lima alat bukti, dalam RUU KUHAP disebutkan ada tujuh alat bukti.

Demikian yang disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti yang juga Ketua Tim Perumus RUU KUHAP, Prof Andi Hamzah, dalam Simposium Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesian (MAHUPIKI) di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang berlangsung tiga hari hingga hari ini, Rabu (20/3/2013).

Dalam KUHAP sekarang, alat bukti yang sah berasal dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Sedangkan dalam RUU KUHAP, alat bukti berupa petunjuk dihilangkan. Selengkapnya rancangan yang diajukan untuk jenis alat bukti yaitu barang bukti, surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim.

"Petunjuk dihilangkan diganti dengan pengamatan hakim," kata Andi yang selama berpuluh-puluh tahun telah menjadi Ketua Tim Perumus RUU KUHAP dan pernah studi banding KUHAP ke 11 negara lain.

Konsep pengakuan pengamatan hakim sebagai alat bukti itu sama dengan KUHAP negara lain.

"Pengamatan hakim itu misalnya, jika menganggap terdakwa bohong dengan melihat tanda-tanda jakunnya naik turun, atau keringatan atau melihat sana-sini," kata Andi.

Jika hakim dengan pengamatannya menganggap terdakwa berbohong, maka itu sudah bisa menjadi satu alat bukti.

"Pengamatan hakim disebut oleh Belanda eigen waarneming van de rechter, bahasa Inggrisnya judicial notice," kata Andi. Tidak ada KUHAP di dunia ini yang menyebut petunjuk (aanwijzing dalam Bahasa Belanda, indication dalam Bahasa Inggris) sebagai alat bukti kecuali Strafvordering Belanda tahun 1838, Inlandsch Regelement, HIR dan KUHAP 1981, karena meniru HIR.

Undang-Undang Mahkamah Agung tahun 1950 sudah menyebut "pengetahuan hakim" sebagai alat bukti menggantikan petunjuk, sayangnya, kata Andi, penyusun KUHAP waktu itu tidak mengetahui hal tersebut.

Dalam rancangan KUHAP, dipakai istilah keterangan seorang saksi dan keterangan seorang ahli sebagai alat bukti yang menyatakan sifat tunggal. Berarti, jika sudah ada dua saksi atau dua ahli, maka sudah cukup memenuhi.

Sebaliknya pada alat bukti surat, dipakai istilah surat-surat yang bersifat jamak. Karena itu, jika ada 10 surat, tetap dihitung satu alat bukti.

Urutan alat bukti tersebut tak berdasar prioritas. Namun, keterangan saksi sengaja diturunkan dari daftar pertama karena untuk menghapus kesan seolah-olah orang tak bisa dihukum jika tak ada saksi.

Dengan daftar jenis alat bukti yang bertambah, maka penetapan seseorang menjadi tersangka akan lebih mudah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Basuki Bakal Putus Status Tanah IKN Usai Jadi Plt Kepala Otorita, Mau Dijual atau Disewakan

Basuki Bakal Putus Status Tanah IKN Usai Jadi Plt Kepala Otorita, Mau Dijual atau Disewakan

Nasional
Pemerintah Lanjutkan Bantuan Pangan Beras, tapi Tak Sampai Desember

Pemerintah Lanjutkan Bantuan Pangan Beras, tapi Tak Sampai Desember

Nasional
Saksi Sebut Penyidik KPK Sita Uang Miliaran Usai Geledah Kamar SYL

Saksi Sebut Penyidik KPK Sita Uang Miliaran Usai Geledah Kamar SYL

Nasional
PAN Tak Masalah Tim Sinkronisasi Prabowo Hanya Diisi Orang Gerindra

PAN Tak Masalah Tim Sinkronisasi Prabowo Hanya Diisi Orang Gerindra

Nasional
Istana Sebut Wakil Kepala Otorita IKN Sudah Lama Ingin Mundur

Istana Sebut Wakil Kepala Otorita IKN Sudah Lama Ingin Mundur

Nasional
Bambang Susantono Tak Jelaskan Alasan Mundur dari Kepala Otorita IKN

Bambang Susantono Tak Jelaskan Alasan Mundur dari Kepala Otorita IKN

Nasional
Soal Tim Sinkronisasi Prabowo, PAN: Itu Sifatnya Internal Gerindra, Bukan Koalisi Indonesia Maju

Soal Tim Sinkronisasi Prabowo, PAN: Itu Sifatnya Internal Gerindra, Bukan Koalisi Indonesia Maju

Nasional
Survei Litbang 'Kompas': 58,7 Persen Responden Anggap Penambahan Kementerian Berpotensi Tumpang-Tindih

Survei Litbang "Kompas": 58,7 Persen Responden Anggap Penambahan Kementerian Berpotensi Tumpang-Tindih

Nasional
Survei Litbang “Kompas”: Jumlah Kementerian Era Jokowi Dianggap Sudah Ideal

Survei Litbang “Kompas”: Jumlah Kementerian Era Jokowi Dianggap Sudah Ideal

Nasional
Gus Yahya Sebut PBNU Siap Kelola Tambang dari Negara

Gus Yahya Sebut PBNU Siap Kelola Tambang dari Negara

Nasional
Jokowi Tunjuk Basuki Hadimuljono Jadi Plt Kepala Otorita IKN

Jokowi Tunjuk Basuki Hadimuljono Jadi Plt Kepala Otorita IKN

Nasional
Pengamat: Anies Bisa Ditinggalkan Pemilihnya jika Terima Usungan PDI-P

Pengamat: Anies Bisa Ditinggalkan Pemilihnya jika Terima Usungan PDI-P

Nasional
Hadiri Kuliah Umum di UI, Hasto Duduk Berjejer dengan Rocky Gerung dan Novel Baswedan

Hadiri Kuliah Umum di UI, Hasto Duduk Berjejer dengan Rocky Gerung dan Novel Baswedan

Nasional
Survei Litbang “Kompas”: 34 Persen Responden Setuju Kementerian Ditambah

Survei Litbang “Kompas”: 34 Persen Responden Setuju Kementerian Ditambah

Nasional
Putusan MA: Lukai Akal dan Kecerdasan

Putusan MA: Lukai Akal dan Kecerdasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com