Jakarta, Kompas -
Ramdansyah menilai DKPP semestinya menjadi lembaga pendukung untuk penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terkait dugaan pelanggaran kode etik. Karena itu, KPU dan Bawaslu menerima rekomendasi dari DKPP atas dugaan pelanggaran jajarannya.
Meskipun DKPP terdiri dari seorang anggota KPU, seorang anggota Bawaslu, dan lima akademisi, kata Ramdansyah, Minggu (3/3), di Jakarta, tidak berarti DKPP mewakili KPU dan Bawaslu. Karena itu, putusan DKPP seharusnya tidak bersifat final dan mengikat. KPU dan Bawaslu yang semestinya menjalankan rekomendasi DKPP pada organ KPU dan Bawaslu. Banding juga selayaknya bisa diajukan atas putusan DKPP.
Ramdansyah diberhentikan DKPP dari jabatan Ketua Panwaslu DKI Jakarta pada 31 Oktober 2012. Dia dinilai tidak netral dalam pilkada DKI Jakarta.
”Berdasarkan asas kepastian hukum, saya harus meneruskan laporan dugaan pelanggaran pemilu gubernur kewenangan Panwaslu kepada kepolisian, yaitu Polda Metro Jaya. Tapi, hanya dengan bukti sumir berupa foto bersama pelapor dan wartawan, DKPP memutuskan pemberhentian dan putusan itu final mengikat,” tutur Ramdansyah.
Kendati demikian, Ramdansyah mengajukan gugatan atas putusan Bawaslu tentang pemberhentiannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta, 13 Februari 2013. Sidang akan dimulai Selasa (5/3).
Selain itu, dia mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 kepada MK. Dia meminta MK membatalkan beberapa pasal terkait putusan DKPP yang final dan mengikat, yakni Pasal 28 Ayat (3) dan (4), Pasal 100 Ayat (1) dan (4), Pasal 112 Ayat (9), (10), (12), dan (13), serta Pasal 113 Ayat (2).
Ketika pasal-pasal ini dibiarkan, lanjutnya, pemilu akan berjalan timpang. Sebab, penyelenggara pemilu akan bekerja dalam kekhawatiran. DKPP disebutnya akan menjadi bom waktu bagi penyelenggara pemilu.
Anggota DKPP, Nur Hidayat Sardini, menilai gugatan atas kewenangan DKPP merupakan hak setiap warga negara. Karena itu, DKPP akan menghormati proses hukum yang berlaku.