JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, mengecam rencana Partai Demokrat yang kembali mencalonkan Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2014. Pencalonan Ibas, sebutnya, hanya akan menunjukkan Demokrat sedang memainkan peran Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu sebagai calo suara.
"Saya tercengang saat tahu pernyataan Mubarok kalau Ibas akan dicalonkan lagi dalam Pileg. Ini Ibas hanya jadi calo suara, Demokrat sudah mati rohnya. Partai ini hanya gerbong kosong yang tak lagi berideologi," ujar Boni, Jumat (21/2/2013), saat dihubungi wartawan.
Boni menyoroti bahwa saat ini partai-partai tidak lagi memiliki ideologi yang kuat. Pada masa Orde Baru, partai politik hanya terbagi ke dalam dua aliran politik, yakni sekuler dan nasionalis religius.
"Tapi dari tiga partai yang ada, yakni Golkar, PDI-P, dan PPP, hanya ada satu aliran yang mencolok, hanya Golkar," kata Boni.
Setelah memasuki reformasi, partai kini tampil dengan ideologi beraneka ragam. Akan tetapi, ideologi-ideologi itu hanya merupakan jubah. "Akhirnya, yang muncul sekarang bukan tradisi politik berbasis nilai. Yang ada hanyalah nomaden-ologi. Jadi tidak heran juga banyak politisi yang pindah partai ke mana-mana," imbuhnya.
Sebelumnya, rencana pengusungan Ibas maju kembali menjadi caleg diungkapkan oleh anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok.
"Ya, pasti akan kami pasang lagi. Kan zaman berubah ke depan. Kalau sekarang lagi urusin partai jadi sekjen, ke depan bisa jadi caleg," ujar Mubarok, Kamis (21/2/2013), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Mubarok mengatakan, salah satu pertimbangan Demokrat adalah elektabilitas Ibas yang tinggi di daerah pemilihan Jawa Timur VII. Ibas, lanjutnya, juga bisa digunakan Partai Demokrat untuk mendulang suara. Jika nantinya terpilih menjadi anggota DPR, maka Mubarok mengaku bisa saja Ibas tidak mengambilnya dan lebih memilih menjadi Sekjen.
"Kalau soal ambil (jadi anggota DPR) atau tidak ambil, itu urusan nanti," imbuh Mubarok.
Menurut Mubarok, strategi pendulangan suara seperti ini sudah lazim terjadi di Indonesia. "Tokoh-tokoh senior jadi caleg, bukan jadi legislator, tapi jadi pendulang suara. Banyak kok menteri-menteri yang dulu caleg, tapi akhirnya tidak diambil," tutur Mubarok.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.