Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Listrik Desa, Dua Terdakwa Divonis 9 dan 4 Tahun

Kompas.com - 06/02/2013, 19:24 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Vonis berat dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada dua terdakwa korupsi pengadaan solar home system (SHS) atau listrik untuk perdesaan. Kasus ini terjadi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada periode 2007-2008. Kerugian negara pada kasus ini mencapai Rp 80 miliar.

Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Jacob Purwono, selaku terdakwa pertama divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Sedangkan anak buahnya, mantan Kepala Sub-usaha Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kosasih Abbas, divonis penjara empat tahun dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan.

Perkara ini ditangani majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri atas Sudjatmiko, Aviantara, Joko Subagiyo, Made Hendra, dan Anas Mustakim. “Menyatakan terdakwa satu Jacob Purnowo dan Kosasih Abbas terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan berbarengan sebagaimana dalam dakwaan subsider,” kata hakim Sudjatmiko.

Kedua terdakwa terbukti melakukan korupsi dalam dakwaan subsider, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Kedua terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti, senilai keuntungan yang diterima dari korupsi ini.

Jacob diharuskan membayar uang pengganti Rp 1 miliar dan Rp 30 juta, sedangkan Kosasih harus mengembalikan Rp 550 juta. Selambat-lambatnya, uang pengganti harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, atau subsider dua tahun penjara untuk Jacob dan 1 tahun penjara untuk Kosasih.

Hukuman Kosasih lebih ringan karena posisinya hanya anak buah, bersikap kooperatif, dan mengakui kesalahannya. Namun, hakim tidak menempatkan Kosasih sebagai justice collaborator alias pelaku yang bekerja sama mengungkap kejahatan lebih besar.

Kedua terdakwa dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan dan pemasangan SHS. Keduanya dinyatakan terbukti mengatur perusahaan pemenang lelang pengadaan dan pemasangan SHS, selama 2007-2008. Mereka juga dinyatakan terbukti menerima hadiah uang dari para pemenang lelang.

“Sebelum dimulainya pelaksanaan dan pemasangan SHS, terdakwa 1 (Jacob) memberi arahan kepada terdakwa 2 (Kosasih) agar melaksanakan tender sesuai dengan ketentuan dan kalau ada pemberian uang dari rekanan diterima saja karena Ditjen LPE sedang butuh dana untuk pembahasan RUU (rancangan undang-undang) ketenagalistrikan di DPR,” ungkap anggota majelis Made Hendra.

Dalam proyek ini, Jacob bertindak sebagai kuasa pengguna anggaran sementara  Kosasih merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek. Kemudian, lanjut hakim, Jacob memberikan catatan tangan kepada Kosasih yang berisi nama perusahaan dan orang yang harus dimenangkan dalam proyek tersebut. Catatan itu pun lengkap dengan nilai paket pekerjaan yang akan diberikan kepada orang atau perusahaan-perusahaan itu.

Setoran RUU Ketenagalistrikan

“Terdakwa 2 (Kosasih) kemudian meminta panita pengadaan untuk mengubah hasil teknis perusahaan yang nama-namanya ada dalam catatan agar dapat dijadikan pemenang,” tambah hakim Made.

Setelah itu Kosasih menerima pemberian uang dari pihak rekanan dan disimpan bendahara di brankas kantor. Sebagain dari uang tersebut, senilai Rp 1 miliar, diberikan ke DPR untuk mengurus pembahasan RUU Ketenagalistrika, selebihnya dinikmati kedua terdakwa senilai uang pengganti yang harus dibayar. Kedua terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, belum memutuskan pula akan banding atau tidak.

Putusan ini diwarnai dissenting opinion, alias pendapat berbeda dari majelis hakim. Hakim Aviantara dan Anas Mustakim menilai, kedua terdakwa seharusnya dianggap terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama.

Menurut kedua hakim ini, unsur-unsur dalam Pasal 2 memiliki makna yang lebih luas dibandingkan Pasal 3 yang menjadi dakwaan subsider.“Apabila Pasal 3 terpenuhi maka unsur Pasal 2 juga terpenuhi,” kata hakim Aviantara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com