Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koruptor, Musuh Bersama

Kompas.com - 03/10/2012, 08:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak perlu ditafsirkan lagi. Kewenangan KPK jelas. Kemungkinan ada obyek penyidikan sama dengan penegak hukum lain juga sudah diantisipasi. Sebab, koruptor merupakan musuh bersama.

Hal itu terungkap dalam sidang pengujian atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/10), seperti disampaikan Direktur Litigasi Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Mualimin Abdi dan anggota DPR Ruhut Sitompul. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Mahfud MD itu mengagendakan mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR.

Mualimin mengatakan, Pasal 50 Ayat 3 adalah norma yang sudah tegas dan jelas, tidak perlu penafsiran lain. Ketika ada obyek penyidikan sama antara KPK dan polisi atau jaksa, KPK yang berwenang menangani. Hal itu dinilai persoalan teknis di lapangan. Karena bukan masalah prinsip hukum, semestinya obyek penyidikan yang sama bisa diselesaikan dengan koordinasi antaraparat hukum. Sebab, musuh bersama adalah orang yang melakukan korupsi.

Isu-isu yang muncul dalam uji materi dinilai bukan isu konstitusionalitas, melainkan lebih pada penerapan UU KPK. Karena itu, pemerintah meminta MK menolak permohonan pengujian, menerima keterangan pemerintah sepenuhnya, dan menyatakan pasal-pasal yang diujikan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

DPR berpendapat senada. Selain itu, para pemohon juga dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian atas UU No 30/2002. Aturan pada UU KPK, kata Ruhut, tidak menghalangi para pemohon mendapatkan pekerjaan sebagai advokat. Juga tidak mempersulit mereka untuk mendapatkan klien.

Selain itu, korupsi sebagai kejahatan luar biasa memerlukan penindakan dengan cara luar biasa pula. Komitmen untuk mempercepat pemberantasan juga mengamanatkan ada badan independen, yakni KPK.

Pengaturan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak berarti KPK memonopoli. Ini karena polisi dan jaksa tetap bisa menjalankan tugas. Pengaturan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan penyidikan juga dinilai sangat jelas pada Pasal 8 dan Pasal 50.

Dalam persidangan, pemohon mengajukan saksi ahli yang juga dosen tidak tetap di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Didi Sunardi. Menurut Didi, dalam hukum pidana, aturan yang bersifat umum (lex generalis) tidak digunakan ketika ada aturan yang bersifat khusus (lex specialis). Karena itu, diterapkan saja UU No 30/2002, termasuk dalam kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi Polri.

Sidang itu diselenggarakan untuk dua permohonan. Pertama, permohonan diajukan Habiburokhman dan Maulana Bungaran serta Munathsir Mustaman untuk menguji Pasal 50 Ayat 3 UU KPK. Aturan ini terkait kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan yang sebelumnya dilakukan kepolisian atau kejaksaan. Permohonan kedua diajukan Muhammad Farhat Abbas, kuasa pemohon Rakhmat Jaya, terkait Pasal 8 Ayat 1-4 dan Pasal 50 Ayat 1-4. Aturan itu juga terkait kewenangan KPU untuk menyupervisi, mengawasi, meneliti, dan menelaah instansi yang bertugas memberantas korupsi serta mengambil alih penyidikan dari aparat lain.

Menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, upaya memereteli kewenangan KPK melalui revisi UU itu menggambarkan psikologis orang yang merasa terancam oleh KPK. ”Bisa juga solidaritas orang tersebut pada partainya yang terganggu karena KPK,” kata Komaruddin.

Selain itu juga ada arogansi kekuasaan dari DPR karena merasa DPR-lah yang melahirkan UU. ”Saya khawatir untuk Pemilu 2014 mendatang. Partai-partai sekarang ini sedang konsolidasi menjadi mesin uang yang sangat kencang untuk membiayai pemilu yang mahal. Nah, uangnya dari mana? Hanya KPK yang bisa menjerat koruptor. Kalau KPK lemah, korupsi tidak akan terkontrol,” ujar Komaruddin.

Karena itu, KPK tidak percaya niat DPR merevisi UU untuk memperkuat lembaga pemberantasan korupsi itu. Ketua KPK Abraham Samad, di Jakarta, Selasa, mengatakan, fakta sekarang DPR ramai-ramai berbalik menolak upaya revisi UU KPK, sementara sebelumnya mereka justru mendukung pengurangan kewenangan KPK, menjadi catatan tersendiri. Abraham tak percaya DPR punya niat tulus mendukung KPK. Menurut dia, mereka yang sebelumnya mendukung revisi UU KPK dan sekarang berbalik menolak hanya ingin menarik simpati rakyat menjelang Pemilu 2014.

Dalih DPR untuk merevitalisasi KPK, ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, hanya pernyataan untuk menarik simpati rakyat. Busyro juga tak percaya niat DPR memperkuat KPK. ”Mereka paham, 2014 kan mereka butuh dukungan. Kalau sekarang menggembosi KPK, mereka juga berhitung,” katanya.

Menurut Busyro, KPK sama sekali tak memerlukan revisi UU. Ia mengatakan, sebenarnya DPR bisa menemukan marwah konstitusionalnya jika mereka mampu menganalisis manakah peraturan yang sebetulnya mendesak untuk direvisi.

Meskipun sejumlah fraksi sudah mendorong penghentian pembahasan draf RUU itu, Badan Legislasi DPR belum juga menentukan sikap. Hingga kini, anggota Baleg masih berbeda pandangan. Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono menjelaskan, pimpinan Baleg sudah meminta fraksi-fraksi agar memberikan pendapat terkait draf RUU KPK yang diajukan Komisi III. ”Artinya, tinggal melakukan pleno di Baleg,” katanya di Senayan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
     PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    Nasional
    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com