Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyidik KPK Usut Rekaman Pembicaraan Hartati-Amran

Kompas.com - 30/07/2012, 11:47 WIB
Icha Rastika

Penulis

2012.7.30. Icha Rastika. Penyidik KPK Usut Rekaman Pembicaraan Hartati-Amran

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut rekaman pembicaraan antara Hartati Murdaya Poo dengan Bupati Buol, Amran Batalipu. Rekaman tersebut menjadi bukti keterlibatan Hartati dalam kasus dugaan suap ke Bupati Buol terkait kepengurusan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Buol, Sulawesi Tengah ini.

Saat memenuhi panggilan pemeriksaan KPK, Senin (30/7/2012) pagi ini, Hartati mengaku diklarifikasi penyidik KPK soal rekaman pembicaraan tersebut dalam pemeriksaan Jumat (27/7/2012) pekan lalu. "Ditanyakan, ya saja jelaskan," kata Hartati di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin.

Pekan lalu, Hartati diperiksa selama kurang lebih 12 jam. Namun dia tidak menjelaskan lebih jauh soal rekaman pembicaraan tersebut. "Nanti ya kalau sudah selesai, harus minta izin dulu ke penyidik KPK," ujarnya.

Informasi dari KPK menyebutkan, rekaman pembicaraan itu berisi permintaan Hartati agar Amran mengurus izin penerbitan hak guna usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit perusahannya.

Hari ini, KPK kembali memeriksa Hartati sebagai saksi untuk Gondo Sudjono, anak buah Hartati yang ditetapkan sebagai tersangka. KPK menetapkan Gondo dan petinggi PT Hardaya Inti Plantation lainnya, yakni Yani Anshori sebagai tersangka karena diduga menyuap Bupati Buol Amran Batalipu dengan uang Rp 3 miliar.

KPK pun menetapkan Amran sebagai tersangka. Diduga, pemberian ke Amran itu dilakukan terkait kepengurusan HGU PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM) di Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. KPK menetapkan Gondo dan petinggi PT Hardaya Inti Plantation lainnya, yaitu Yani Anshori sebagai tersangka atas dugaan menyuap Bupati Buol dengan uang Rp 3 miliar.

Informasi dari KPK menyebutkan, uang suap tersebut diduga diberikan karena ada perintah Hartati ke Yani Anshori. Seusai diperiksa pekan lalu, Hartati mengaku dimintai uang Rp 3 miliar oleh Amran. Dari Rp 3 miliar yang diminta, hanya Rp 1 miliar yang diberikan. Menurut Hartati, pemberian tersebut terkait kondisi keamanan perusahaannya di Buol yang tidak kunjung kondusif. Dia mengaku tidak tahu kalau kemudian uang itu digunakan Amran untuk menghadapi Pilkada 2012.

Hari ini, Hartati mengatakan telah membawa sejumlah bukti untuk ditunjukkan ke penyidik KPK. "Saya ingin berikan penjelasan sejelas-jelasnya, yang kemarin belum cukup," kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu. Hartati tampak didampingi Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat, Deny Kailimang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com