”Walaupun negara tetap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab, masyarakat kita masih diliputi pandangan abu-abu terhadap perlindungan kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan,” kata Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips
Indonesia mampu melalui tiga pemilu demokratis relatif damai sejak 1999 dan jadi indikator penting arah demokratisasi.
Beberapa di antaranya peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat dan juga persoalan kebebasan menjalankan agama dan keyakinan.
Beberapa pandangan menyebutkan, negara gagal menghormati dan melindungi komponen mendasar hak asasi yang menjadi basis demokrasi. Perspektif lain, masyarakat juga gagal melindungi dan menegakkan semangat pluralisme sebagai basis demokrasi yang sehat.
Sikap intoleran dalam masyarakat masih menonjol. Sebanyak 83,4 persen responden tidak keberatan bertetangga dengan suku lain, 59,5 persen responden tidak keberatan bertetangga dengan yang beragama lain. Namun, 68,2 persen responden menyatakan lebih baik tidak dibangun rumah ibadah lain di lingkungan mereka.
Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan menyatakan, ketika pemerintahan Soeharto ada perasaan damai, itu adalah damai semu. Stabilitas tegak karena tentara mengangkat senjata dan pengalaman warga berinteraksi secara dewasa minim.
”Sekarang, ketika kita berinteraksi, kita tidak siap. Perilaku intoleran makin menjalar karena didiamkan pemerintah,” kata Anies.
Menurut dia, kalau pemerintah diam, tinggal menunggu waktu intoleransi akan meluas. Jika kita tidak membereskan rasa hormat kepada keberagaman, Anies khawatir dengan ekspresi destruktif yang dipilih warga. ”Harus ada kemauan pemerintah untuk turun tangan. Membangun toleransi perlu kerja yang agak panjang,” ujarnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.