Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/03/2012, 16:12 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Hukum & HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, tidak ada permasalahan hukum mengenai pembelian 7 persen saham Newmont Nusa Tenggara (NNT) dalam proses divestasi yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pendapatnya ini disampaikan secara resmi dalam sidang perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara antara presiden, DPR dan BPK mengenai pembelian saham NNT di Mahkamah Konstitusi, Selasa (27/3/2012).

“Sejauh memutuskan untuk membeli saham dan melaksanakannya, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden dan Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara dalam menjalankan kebijakan Pemerintah,” jelas Guru Besar Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Pendapat hukumnya ini merupakan jawaban atas apa yang menjadi sengketa antara Presiden dengan DPR dalam perkara divestasi saham ini. Menurutnya, keputusan untuk membeli dan melaksanakan pembelian 7 persen saham divestasi PT NTT tersebut adalah semata-mata kewenangan Presiden (dalam hal ini Menteri Keuangan selaku Kuasa Presiden dan Bendahara Umum Negara).

Yusril menunjukkan inti kesalahan penafsiran dalam konteks pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh DPR dan BPK. Menurut pakar hukum yang pernah menjadi salah satu kandidat Presiden dalam Pemilu 1999 ini, pembelian saham divestasi PT NTT oleh Pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) bukanlah langkah investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal. Yusril mengritisi argumentasi hukum yang digunakan DPR dalam menafsirkan -Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam sidang lanjutan perkara sengketa yang mendudukkan DPR dan BPK sebagai termohon ini, Yusril membeberkan kesalahan penggunaan dan penafsiran dasar hukum yang dilakukan keduanya. “Perbedaan antara Presiden dengan DPR dalam pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT, berasal dari perbedaan titik tolak memahami persoalan itu, karena DPR menggunakan dasar hukum merujuk pada Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang No 17 Tahun 2003,” jelas Yusril.

Pasal tersebut menyatakan, “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR”.  Padahal pasal 24 ayat (7) itu berada di bawah Bab VI yang berjudul “Hubungan Keuangan Antara Pemerintah dan Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta serta Badan Pengelola Dana Masyarakat”.

Penggunaan pasal tersebut dinilai Yusril tidak tepat dalam mendudukkan persoalan Investasi Pemerintah ini. Konteks pasal ini harus dikaitkan dengan Judul Bab VI sebagaimana telah dikutipkan tadi, yang pada intinya berkaitan dengan pemberian pinjaman dan penyertaan modal, yang dilakukan dalam konteks keadaan tertentu yakni “untuk penyelamatan perekonomian nasional” yang mungkin tengah menghadapi krisis.

Pembelian saham divestasi PT NNT mestinya dipahami DPR dalam konteks Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaraharaan Negara, yakni sebagai investasi pemerintah dalam keadaan normal, bukan sebagai “penyertaan modal Pemerintah” yang berakibat dipisahkannya kekayaan Pemerintah dengan kekayaan perusahaan tempat Pemerintah menyertakan modal itu.

Sebagaimana diketahui, polemik pembelian 7  persen saham divestasi PT NNT ini digunakan DPR untuk mengganjal usaha Pemerintah menasionalisasi saham salah satu perusahaan tambang terbesar tersebut. DPR “menjegalnya” dengan alasan bahwa keputusan pemerintah tersebut harus melalui persetujuan DPR RI. Proses perundingan antara pemerintah dengan DPR berakhir tanpa kata sepakat. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diminta DPR untuk melakukan audit pun sependapat dengan DPR.

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun akhirnya mengajukan permohonan penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah menuding DPR dan BPK telah melebihi kewenangannya. MK kembali menggelar sidang yang ketiga kalinya pada hari ini.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com