Jakarta, Kompas
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman) Indonesia M Fadjroel Rachman dan peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, di Jakarta, Rabu (8/2). Keduanya menyoroti kian banyaknya elite politik, bahkan pengurus teras partai, yang terlibat berbagai kasus korupsi. Terakhir, sebagian elite pengurus Partai Demokrat tersangkut kasus korupsi wisma atlet SEA Games 2011, dan beberapa di antaranya sudah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka.
Menurut Fadjroel, KPK perlu terus didorong untuk memproses hukum para politikus yang tersangkut korupsi. Semua orang diperlakukan sederajat di depan hukum, tanpa tebang pilih atau diskriminasi. Harapannya, semua koruptor dapat dijerat dan diberi hukuman berat.
Namun, masyarakat sebenarnya juga bisa memberikan sanksi politik kepada para koruptor itu. Caranya dengan tidak memilih siapa saja yang punya rekam jejak tersangkut kasus korupsi untuk menjadi pejabat eksekutif atau legislatif pada Pemilu 2014. Ini perlu dilakukan agar orang-orang yang bermasalah secara moral dan tak punya integritas itu tak lagi memegang jabatan publik.
Sayangnya, hingga kini politikus yang terkena hukuman pidana berkekuatan hukum tetap itu masih dimungkinkan untuk maju dalam pemilu atau pilkada, asalkan hukuman pidana penjaranya kurang dari lima tahun. seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 58) serta UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pasal 50).
”Meski aturan masih memungkinkan seperti itu, masyarakat perlu memberikan hukuman politik dengan tak memilih politisi korup untuk menduduki jabatan publik,” katanya.
Abdullah Dahlan mengungkapkan, ICW dan jejaring lembaga swadaya masyarakat pernah melakukan kampanye gerakan tidak pilih politikus bermasalah pada Pemilu 2004 dan 2009. Program itu juga akan dilanjutkan pada Pemilu 2014 dengan menerbitkan foto-foto politikus yang pernah tersangkut kasus korupsi dan mengumumkannya kepada publik.
”Kami mendorong agar terpidana korupsi jangan menjadi pejabat publik. Itu akan membebani birokrasi karena dipimpin orang bermasalah. Belum lagi nanti pejabat itu akan menghambat pemberantasan korupsi,” katanya.
Dengan memilih pejabat yang tidak bermasalah, Indonesia dapat membangun rezim birokrasi yang bersih. ”Ini proses pendidikan politik agar publik memilih figur yang dapat dipercaya,” ujarnya.