Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan dan Korupsi

Kompas.com - 28/12/2011, 03:33 WIB

Oleh L Wilardjo

Ideologi pembangunan yang kita pegang selama ini keliru. Sebab, pembangunan diukur dengan (peningkatan) pendapatan rata-rata per kepala. Itu menurut Daoed Joesoef (Kompas, 23/11).

Ideologi, kata Daoed, bagian dari citra tentang apa yang dianggap seseorang esensial bagi jati dirinya dan bagi citra mengenai dirinya sendiri. Saya kira Arief Budiman akan mengatakan rumusan Daoed belum cukup. Itu hanya merupakan outlook, dan baru akan menjadi ideologi kalau ada pergerakan yang secara aktif memperjuangkan aktualisasinya. Karena ideologi pembangunan kita keliru, perlu dihadirkan ideologi baru, yang di dalamnya bersinergi tiga strategi pokok. Menurut Daoed, ketiga siasat utama itu ”to have more” (lebih makmur), ”to be more” (lebih luhur), dan ”to have more prowess” (lebih perkasa karena ketahanan nasionalnya dijaga dengan strategi hankam yang tepat).

Yang menjanjikan, kata Daoed Joesoef, adalah ideologi pembangunan yang memberikan Lebensraum bagi partisipasi warga masyarakat, dan yang mengakui HAM untuk meraih kebahagiaan. Di sini ia terdengar seperti warga negara ”the land of the free and the home of the brave” (tanahnya bangsa yang merdeka dan rumahnya bangsa pemberani) yang merasa sok jadi pendekar HAM. Tiga di antara HAM itu adalah kehidupan, kemerdekaan, dan mengejar kebahagiaan.

Maslow atau romo Paul?

Jika sampai terjadi benturan kepentingan antara ”lebih makmur” dan ”lebih luhur”, entah akan memberat ke mana pilihan Daoed Joesoef. Kalau ia penganut Abraham Maslow, ia akan mengutamakan ”lebih makmur” karena yang ”lebih luhur” itu baru mulai dipikirkan setelah tuntutan perut terpenuhi. Atau, bagi dia, mungkin pertanyaannya bukan ”to be or not to be” seperti dilontarkan Shakespeare, tetapi bagaimana cara untuk sekaligus ”to have more” dan ”to be more”.

Kalau demikian, ia berbeda pandangan dengan Paul Suparno (Sanata Dharma). Pakar pendidikan sains dan romo Yesuit ini menyatakan”less is more” [lebih sedikit itu (justru) lebih banyak]. Membatasi diri untuk menerima dan mensyukuri yang lebih sedikit berarti menghadirkan berkat yang lebih banyak bagi liyan.

Pada hemat saya, ”less”-nya Paul harus ada batasnya. Anjuran Theodore Roszak agar kita menentang teknologi dan hanya memakai ”teknologi kaki telanjang dan tangan kosong” (technology with bare feet and bare hands) hanya romantisme khayalan yang tidak realistik.

Di Bumi yang dipadati eksplosi populasi, yang daya dukungnya sudah lemah karena ulah manusia yang mencemarinya dan menguras kekayaannya, tanpa kemudahan yang ditawarkan teknologi, kehidupan kita akan sedemikian sulitnya sehingga tak manusiawi. Anjuran EF Schumacher agar kita menjalani kehidupan ala biarawan juga hanya ”pas” untuk biarawan. Kita, manusia biasa, punya kebutuhan. Kepentingan diri (self interest) itu sah-sah saja untuk dipenuhi asal jangan kebablasan menjadi hanya mengumbar kerakusannya sendiri (selfish).

Tidak berkaca

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com