Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras: Remisi Pollycarpus Tak Masuk Akal

Kompas.com - 18/08/2011, 09:46 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, pemberian remisi bagi Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana 20 tahun dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, tidak dapat diterima akal sehat. Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, pemberian remisi tersebut telah memperlihatkan sistem hukum di Indonesia semakin melenceng dari rasa keadilan masyarakat.

"Sudah benar-benar keterlaluan sistem hukum kita terutama dalam soal remisi. Ini tidak masuk akal. Sulit rasanya untuk mengerti kenapa Pollycarpus bisa dapat remisi sembilan bulan hanya karena ikut Pramuka dan rajin donor darah sebagai narapidana," ujar Haris kepada Kompas.com, di Jakarta, Kamis (18/8/2011).

Pollycarpus, Rabu (17/8/2011) kemarin, diberikan remisi sembilan bulan lima hari dalam rangka HUT RI ke-66 tahun. Remisi itu, menurut Divisi Permasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, diberikan karena Pollycarpus dikenal rajin dalam aktivitas kepramukaan dan rajin mengikuti acara donor darah di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Remisi yang diberikan kepada Pollycarpus terdiri dari remisi umum 5 bulan, remisi PMI yakni 2 bulan 15 hari, dan remisi Pramuka 1 bulan 20 hari. Haris menilai, pembunuhan Munir jauh lebih kejam dan tidak seimbang jika harus dikurangi pidana hanya karena ikut Pramuka dan donor darah. Menurutnya, tidak ada logika yang erat antara kasus pembunuhannya dengan donor darah atau Pramuka.

"Penghukuman sampai 20 tahun itu diasumsikan jika dia (Pollycarpus) akan memperbaiki diri untuk tidak mengulangi kejahatannya setelah lepas. Ikut Pramuka tidak menjamin ia akan mengulangi kejahatan. Sebagai agen BIN saja dia membunuh, apalagi kalau cuma ikut Pramuka. Itu hanya simbolik," kata Haris.

Lebih lanjut, Haris mengkhawatirkan langkah pemberian remisi tersebut adalah indikasi bahwa Menkumham dan MA secara diam-diam ingin melupakan kasus Munir. Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat perlu waspada dan turut aktif dalam mengkritisi kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pemberian remisi seorang terpidana dalam kasus-kasus berat, seperti pembunuhan atau korupsi.

"Kita patut was-was. Karena memang kekuatan di belakang Polly masih bekerja untuk membersihkan bekas-bekas pembunuhan Munir, salah satunya dengan segera membebaskan Polly," tukasnya.

Pollycarpus adalah terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir pada 2004 lalu. Akibat dari perbuatannya, ia dihukum 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa yang tak puas dengan putusan majelis hakim mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut. Akhirnya, Polly diganjar hukuman 20 tahun penjara. Kemudian, ia  mengajukan permohonan PK kembali di PN Jakarta Pusat, karena menilai PK yang diajukan jaksa telah menyalahi mekanisme dalam KUHP.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com