Anggota Badan Legislasi DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, Malik Haramain, di Jakarta, Kamis (14/7), mengingatkan, semangat RUU adalah revisi terbatas sehingga sejak awal Badan Legislasi membatasi cakupan materinya. Jika kemudian ada fraksi yang mengupayakan masuknya materi baru lewat daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disiapkan pemerintah, atau mengusulkannya saat pembahasan bersama RUU antara DPR dan pemerintah, hal itu justru dipertanyakan. ”Kalau terus melebar, apa artinya pembahasan di Badan Legislasi? Apa memang maunya berkonspirasi menekan parpol kecil?” katanya.
Pada pertemuan awal pekan ini, Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sepaham menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), kemungkinan sampai 5 persen. Di luar itu, mencuat keinginan memasukkan ketentuan soal perubahan besaran daerah pemilihan/dapil (district magnitude) dan cara penghitungan kursi dengan metode divisor.
Ketua Kelompok Fraksi Partai Golkar di Badan Legislasi DPR Taufiq Hidayat mengakui, penciutan dapil jadi 3-6 kursi per dapil dan cara perhitungan kursi di luar metode kuota yang dirasa kurang adil merupakan gagasan lama. Gagasan itu dipikirkan demi kepentingan bangsa yang lebih besar, yakni terciptanya pemerintahan efektif. Kalaupun belum masuk draf RUU, bisa saja pemerintah mengusulkannya dalam DIM.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri menilai, upaya fraksi memasukkan materi baru dalam RUU usulan DPR saat pembahasan bersama pemerintah memang berisiko memperlama pembahasan yang sebenarnya bisa diantisipasi. ”Ini semacam langkah penyelundupan di momen-momen penentuan. Paling nanti situasinya fraksi-fraksi akan berselisih sengit. Pemerintah dipaksa menyusulkan DIM penyesuaian,” ujar Ronald.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, Kamis, di Jakarta, mengingatkan DPR semestinya lebih membahas isu-isu substansial ketimbang mengurusi ambang batas parlemen yang hanya terkait kepentingan perolehan kursi. Alokasi kursi harus benar-benar berdasarkan prinsip perwakilan yang setara (equal representation). Ini akan membuat harga setiap kursi di setiap dapil sama dan tidak ada daerah yang terlalu banyak atau terlalu sedikit perwakilannya.
Di sisi lain, sistem pemilu yang digunakan pada pemilu mendatang semestinya lebih menjamin integritas penyelenggaraan. Akibat sistem proporsional dengan daftar calon terbuka digunakan pada Pemilu 2009, calon legislatif lebih banyak tampil ketimbang partai. Parpol menjadi semakin lemah. Sistem ini juga melahirkan tokoh-tokoh yang lebih populer ketimbang partai.
Kecurangan juga terbuka lebar. Calon anggota legislatif mengetahui betul berapa suara yang diperlukan dan permainan untuk membeli suara atau mengalihkan suara. Biaya politik pun membengkak. Ramlan menghitung, biaya yang dikeluarkan caleg se-Indonesia selama Pemilu 2009 Rp 21 triliun sebab caleg rata-rata menghabiskan Rp 1 miliar, bahkan Rp 5 miliar.
Anggota Dewan Pengarah Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, M Jufri, menambahkan, ketimbang hanya berdebat soal ambang batas parlemen yang bisa menjadi senjata makan tuan, pengurangan partai di DPR bisa dilakukan dengan pengetatan seleksi peserta pemilu.